Sebatang gelagah di bibir sebuah telaga bening. Ia bergoyang meliuk
ke sana ke mari menuruti irama hembusan angin sepoi. Ia cuman sebatang
saja. Yang lain telah lama layu dan mati, sedangkan yang baru belum lagi
muncul. Namun dalam kesendiriannya ia bergerak, ia meliuk tanpa keluh
dan kesah.
Ketika ia menunduk, ia melihat bayangan dirinya di beningnya telaga
biru, dirinya yang berada dalam hening namun tak merasa sepi. Ia melihat
dirinya yang sedang menari penuh senyum bersama hembusan angin segar.
Tak ada penonton yang memberikan tepukan meriah, tak ada suara sorakan
gempita. Tak ada aku dan anda yang memperhatikannya. Namun ia tetap
meliuk. Ia tetap menari. Ia menari untuk mensyukuri hadiah hari ini dan
hari kemarin. Ia mempersembahkan tariannya hari ini buat hari esok.
Betapa sering aku menantikan orang lain memberikan kata-kata
peneguhan yang tak pernah muncul. Betapa sering aku melimpahkan semua
masyalahku pada sesuatu di luar diriku. Betapa aku sering lupa, kalau
aku harus mengerti diriku sendiri lebih dari pada dimengerti oleh orang
lain, bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dahulu sebelum aku
dicintai orang lain. Aku harus belajar menari - seperti batang gelagah
di bibir telaga itu - walau tak seorangpun bertepuk tangan memberikan
sorakan.
Terima kasih batang gelagah yang gemulai, yang hidup dalam jangka
yang cuman sebentar. Namun engkau telah mengajarkan aku untuk mencintai
hidupku.
Sumber: www.nomor1.com