Suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia, baik dalam jumlah
maupun luas penyebarannya. Mereka kerap menyebut dirinya sebagaiWong Jowo atau Tiang Jawi.
Orang Jawa telah menyebar hampir ke semua pulau besar di Indonesia
sejak abad ke-18. Selain menyebar di wilayah nusantara, suku Jawa pada
saat itu juga sudah dibawa ke Suriname (Amerika Selatan), ke Afrika
Selatan, dan ke Haiti di Lautan Teduh (Pasifik) oleh Belanda.
Menurut populasi aslinya, orang Jawa menempati wilayah Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun di luar wilayah itu,
sebagian provinsi Jawa Barat juga banyak Wong Jowo, seperti Cirebon,
Indramayu, Jakarta, dan Banten. Di wilayah Sumatera, orang Jawa paling
banyak adalah di wilayah Lampung. Sisanya menyebar ke seluruh pulau
besar di Indonesia.
Pusat Konsentrasi Budaya Suku Jawa
Berdasarkan pengaruh budaya sosial masyarakatnya, daerah-daerah yang
menjadi konsentrasi kebudayaan orang Jawa adalah daerah Banyumas, Kedu,
Madiun, Malang, Kediri, Yogyakarta, dan Surakarta. Yogyakarta dan
Surakarta dianggap sebagai pusat kebudayaan Jawa yang bercorak pada
kebudayaan istana (kraton). Masyarakat di sekitar pantai utara dan timur
lebih dikenal sebagai orang Jawa Pesisiran.
Sistem Sosial Masyarakat Suku Jawa
Masyarakat Jawa mengenal sistem lapisan masyarakat yang nyata perbedaannya. Yaitu antara lain:
- Bendoro atau Bendoro Raden, yaitu golongan bangsawan keturunan raja-raja.
- Priyayi, yaitu para kaum terpelajar yang memang biasanya berasal dari golongan bangsawan juga.
- Wong cilik, yaitu golongan sosial paling bawah, seperti golongan petani di sekitar desa.
Pada kenyataannya sekarang, perbedaan tersebut kian memudar seiring
dengan peradaban masyarakat yang semakin berkembang. Sistem kekerabatan
masyarakat suku Jawa menganut prinsip bilateral. Kerabat-kerabat dari
pihak bapak atau ibu dipanggil dengan sebutan yang sama. Misalnya Bibi untuk menyebut adik perempuan dari bapak atau dari ibu.
Untuk pasangan yang baru menikah, mereka tidak akan mempersoalkan di
rumah mana mereka akan menetap selagi belum mempunyai rumah sendiri.
Bisa di rumah orangtua istri atau orangtua suami.
Bahasa Suku Jawa
Masyarakat Jawa dalam berkomunikasi satu sama lain sehari-hari
menggunakan bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat. Penggunaan bahasa pada
tingkat tertentu dipengaruhi juga oleh orang Jawa dalam kelas tertentu.
Secara resmi, bahasa Jawa dibedakan atas tiga tingkatan, antara lain
sebagai berikut.
- Bahasa ngoko, yaitu bahasa yang dipakai untuk orang yang sudah dikenal dekat dan akrab, atau dipakai untuk berbicara kepada orang yang lebih muda
- Bahasa karma, yaitu bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang tingkat sosialnya lebih tinggi, seperti petani berbicara kepada golongan priyayi.
- Bahasa madya, yaitu bahasa variasi dari penggunaan bahasa ngoko dan bahasa karma.
Di luar ketiga bahasa tersebut, dikenal dengan bahasa kedaton, yaitu bahasa yang digunakan di lingkungan keraton.
Orang Jawa terkenal dengan stereotip sifatnya yang lemah lembut,
sopan, dan halus. Namun masyarakat Jawa tidak suka berterus terang,
tidak bersifat terbuka. Mereka lebih suka menyembunyikan perasaan mereka
terhadap suatu hal. Ini dikarenakan orang Jawa mengutamakan
keharmonisan dan tepa selira (tenggang rasa).
Namun tidak semua orang Jawa suka menyembunyikan perasaannya.
Masyarakat di daerah pesisir lebih terbuka daripada nonpesisir. Beberapa
wilayah di Jawa Timur juga mempunyai sifat yang lebih ekspresif, terus
terang, dan egaliter.
Tradisi Upacara Kematian Suku Jawa
Di Bali, ada sebuah upacara kematian yang sangat dikenal sampai ke
penjuru dunia, yaitu bernama Ngaben. Tak hanya penganut Hindu di Bali,
suku Jawa pun memiliki tradisi upacara kemattian. Tahukah Anda bahwa
orang Jawa pun mempunyai titual khusus untuk mengantarkan saudaranya
yang telah meningal dunia?
Ritual-ritual tersebut di antaranya adalah upacara Brobosan, upacara
Surthanah, upacara Mendhak, dan upacara Nyewu Dina. Nah, berikut ini
ulasan lengkapnya.
1. Upacara Brobosan
Upacara Brobosan diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlihatkan
rasa hormat dari pihak keluarga kepada orangtua dan juga leluhur mereka
yang sudah meninggal dunia. Upacara ini biasanya dilakukan di halaman
rumah orang yang sudah meninggal tersebut sebelum dimakamkan dan
dipimpin oleh anggota keluarha yang terttua.
Berikut ini rentetan tradisi Brobosan secara berurutan.
- Peti mati dibawa menuju ke halaman rumah dan diangkat tinggi ke atas sesudah upacara doa kematian selesai dilakukan.
- Anak laki-laki paling tua, anak perempuan, cucu laki-laki, dan juga cucu perempuan, berjalan secara berurutan untuk melewati peti mati yang terletak di atas mereka sebanyak tiga kali seerta searah dengan jarum jam.
- Urutan pasti selalu dimulai dari anak laki-laki paling tua dan keluarga ini ada di urutan pertama, sedangkan anak yang berumur lebih muda dan keluarganya mengikuti kemudian.
Upacara adat ini melambangkan penghormatan keluarga yang masih hidup
kepada oarangtua dan juga leluhur mereka. Oleh sebab itu, bila yang
meninggal dunia itu anak-anak atau remaja, upacara Brobosan ini tidak
dilaksanakan.
Menurut keyakinan orang Jawa, sesudah satu tahun kematian, arwah
orang yang sudah meninggal tersebut telah memasuki dunia abadi untuk
selama-lamanya. Untuk bisa memasuki dunia yang abadi tersebut, arwah
harus menempuh jalan sangat panjang. Itulah sebabnya diadakan sejumlah
upacara untuk menemani perjalanan si arwah tersebut.
2. Upacara Surthanah
Upacara Surthanah ini dilakukan dengan tujuan agar roh atau arwah
orang yang telah meninggal memperoleh tempat layak di sisi Tuhan. Dalam
upacara kematian ini, perlengkapan upacara yang dipersiapkan dibedakan
berdasarkan kasta. Untuk golongan bangsawan, perlengkapan yang harus
disiapkan adalah tumpeng asahan dilengkapi dengan sayur adem, lauk,
kerupuk, nasi gurih, pisang raja, sambal docang dilengkapi kedelai yang
dikupas, nasi golong, pecel dengan sayatan daging ayam goreng atau
panggang, rempeyek, jangan menir, dan tumpeng ukur-ukuran.
Sementara itu, perlengkapan untuk golongan rakyat biasa adalah
tumpeng lengkap dengan lauknya, inkung serta panggang ayam, nasi golong,
nasi asahan, tumpeng langgeng, tumpeng pungkur, kembang setaman, pisang
sajen, bako enak, kinang, dan uang bedah bumi. Upacara kematian ini
diselenggarakan susudah jenazah dikubur yang dihadiri oleh pihak
keluarga, tetangga, dan juga pemuka agama.
3. Upacara Mendhak
Tradisi Mendhak merupakan salah satu ritual yang ada di dalam adat
istiadat kematian budaya orang Jawa. Upacara kematian tradisional ini
dilakukan, baik itu secara individu ataupun berkelompok, untuk
memperingati kematian seseorang. Peralatan serta perlengkapan yang
dbutuhkan dalam upacara Mendhak di antaranya adalah sega uduk, tumpeng,
kolak, apem, dan ketan.
Tak jarang, sebelum ataupun sesudah upacara tersebut diselenggarakan,
pihak keluarga diperbolehkan mengunjungi makam saudaranya. Upacara
Mendhak ini dilakukan sebanyak tiga kali dalam seribu hari sesudah hari
kematian. Upacara pertama disebut dengan Mendhak Pisan yang dilakukan
untuk memperingati setahun masa kematian.
Upacara kedua disebut dengan Mendhak Pindho atau disebut juga dengan
upacara peringatan 2 tahun kematian seseorang. Upacara ketiga disebut
dengan Mendhak Telu atau Pungkasan atau disebut juga dengan Nyewu Dina
yang dilakukan pada hari ke-1000 sesudah kematian.
Itulah berbagai ulasan tentang suku Jawa. Suku Jawa memang kaya akan
budaya dan tradisi. Budaya dan tradisi tersebut tentu semakin memperkaya
karagaman budaya Indoenesia.
Sumber: www.nomor1.com
Sumber: www.nomor1.com