Perhatikanlah percakapan singkat antara ibu dan anaknya berikut ini.
Namun sebelumnya saya akan menceritakan secara singkat latar belakang
percakapan mereka. Sang ibu ternyata sedang berbelanja bersama anaknya
yang berumur 8 tahun. Mereka berdua, setelah berbelanja, menuju ke
tempat parkir, dimana mobil mereka diparkir. Dan inilah percakapan
mereka:
Anak: Ibu, sisi mobil ini yang penyok.
Ibu: Sial, Bob (suaminya) pasti marah besar.
Anak: Ayah menyuruh ibu untuk selalu memarkir mobil barunya jauh dari
mobil-mobil yang lain.
Ibu: Sial, hal-hal seperti ini selalu saja menimpaku. Aku sangat malas,
aku hanya tidak ingin membawa barang belanjaan dari tempat yang jauh.
Bodoh sekali aku ini.
Seperti yang Anda lihat dan rasakan, kejadian seperti ini terkadang
menimpa seseorang, tapi bukan kejadiannya yang akan kita fokuskan pada
artikel kali ini. Tapi pada percakapan sederhana dan yang terus
berulang, yang kebanyakan orang lakukan ketika menghadapi sebuah
masalah.
Penelitian menyebutkan, anak-anak yang belum masuk usia pubertas jauh
lebih optimis daripada orang dewasa. Hal tersebut dapat kita lihat pada
percakapan sang anak di atas. Sang anak dan ibunya melihat masalah yang
sama, tapi sang anak lebih memfokuskan pembicaraan kepada hal-hal yang
bersifat spesifik pada masalah dan bagaimana agar terhindar dari masalah
tersebut. Coba perhatikan kata sang anak: “Sisi mobil ini yang penyok”.
Anak langsung memfokuskan pembicaraan pada “masalah apa yang sedang
terjadi”. Bahkan sang anak berbicara juga tentang pencegahannya: “Ayah
menyuruh ibu untuk selalu memarkir mobil barunya jauh dari mobil-mobil
yang lain”.
Apa yang dipikirkan oleh sang anak, yang bersifat lebih optimis,
sangat berbeda dengan sang ibu (bahkan hampir semua orang dewasa) ketika
menghadapi masalah tersebut. Sang ibu terlihat lebih fokus pada:
“Hal-hal seperti ini selalu saja menimpaku”. Ini adalah kalimat ambigu
karena kata “hal-hal seperti ini” tidak jelas mengacu pada apa atau
sesuatu yang spesifik. Masalahnya adalah mobil yang penyok (kasusnya
jelas dan spesifik) tapi perhatiannya justru terfokus pada sesuatu yang
bersifat universal, seolah-olah semua kejadian buruk selalu menimpanya.
Kalimat tersebut juga bersifat permanensi. Artinya akan selalu
terjadi hal-hal yang buruk pada dirinya. Karena di dalam kalimat
tersebut sang ibu menggunakan kata “selalu”. Ini berarti semua hal buruk
(bersifat universal) akan terus terjadi pada dirinya (dengan
menggunakan kata “selalu” pada kalimat tersebut di atas). Sang ibu
ketika berucap secara spontan pada kejadian tersebut, tidak memberikan
syarat terhadap kemalangan yang baru saja menimpanya atau menetapkan
batasan tentang masalah-masalah yang selalu dialaminya. Selain itu,
ucapan tersebut sangat bersifat pribadi: “menimpaku”. Hal ini
mengisyaratkan bahwa semua kejadian buruk hanya menimpa dirinya saja dan
sepertinya tidak menimpa orang lain, hanya dirinya saja. Jika seseorang
sudah berasumsi bahwa setiap kejadian buruk hanya menimpa dirinya, maka
dengan mudah dia akan melihat dirinya sebagai korban penderitaan.
Kalimat berikutnya membuat kondisi sang ibu lebih parah lagi: “Aku
sangat malas”. Seperti halnya kalimat yang tadi kita bahas, kalimat ini
juga bersifat permanensi atau penetapan penilaian terhadap diri sendiri.
Dan kalimat ini pun bersifat ambigu karena tidak mengacu pada hal
spesifik tertentu. Seharusnya yang dikatakan sang ibu tadi adalah: “Tadi
aku sedang malas”. Namun karena kalimatnya yang bersifat non spesifik,
maka penetapan “malas” akan mengacu pada semua situasi pada diri sang
ibu tersebut.
“Aku hanya tidak ingin membawa barang belanjaan dari tempat yang
jauh”. Kalimat bersifat “menarik kenyataan yang tidak diinginkan”.
Seharusnya kalimatnya menjadi lebih positif dengan berkata: “Tadi aku
ingin membawa barang belanjaanku dari tempat yang lebih dekat”. Dan
kalimat terakhir menutup kesimpulannya sendiri bahwa dirinya memang
selalu seperti itu: “Bodoh sekali aku ini”. Kalimat ini bersifat
permanensi, ambigu, dan menyerang diri sendiri.
Itulah serangkaian kalimat pendek, yang dilakukan oleh kebanyakan
orang dewasa (khususnya para orang tua) dalam menghadapi situasi yang
tidak diharapkan. Kebiasaan ini akan didengar oleh anak-anak dan
kemudian anak-anak akan menggunakan kemampuan alaminya, yaitu meniru apa
yang dilakukan oleh orang tuuanya. Dan akhirnya jadilah sebuah mata
rantai kebiasaan pesimis.
Sumber: www.nomor1.com