Budaya Jawa terkenal sangat kaya dan memiliki ciri khas tersendiri.
Sebelum membahas budaya Jawa, ada baiknya membahas pengertian dari
budaya atau kebudayaan. Budaya atau kebudayaan adalah sebuah cara hidup
yang berkembang serta dipunyai bersama oleh kelompok tertentu yang
diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada dasarnya, kebudayaan itu terbentuk dari berbagai unsur yang
rumit seperti adat istiadat, politik, sistem agama, pakaian, bangunan,
karya seni, dan bahasa perkakas. Lalu, dari sebuah budaya bisa terjaga
dari eksistensi unsur budaya itu sendiri. Sejak awal abad millennium
mulai muncul, sedikit demi sedikit, kemurnian budaya-budaya lokal
mengalami sebuah degradasi. Kini, hanya sebagian kecil individu yang
masih peduli dengan kemurnian budaya tersebut untuk tetap eksis.
Berbagai faktor seperti kesenjangan dan masalah ekonomi membuat
masyarakat membuang jauh-jauh kemurnian budaya mereka sendiri. Hal ini
adalah jargon yang sudah tak asing lagi terdengar di telinga kita.
Budaya Jawa
Kebudayaan Jawa dapat dikatakan budaya yang kini mengalami degradasi.
Keberadaannya kurang mendapat dukungan dari masyarakat, termasuk
masyarakat Jawa itu sendiri. Para generasi mudah yang semestinya
melestarikan kebudayaan Jawa seolah-olah lupa sehingga akhirnya mereka
semua menjadi “buta” dengan tradisi budayanya.
Hal itulah yang membuat budaya luar atau budaya western mudah menginjak-injak budaya lokal. Budaya unggah-unggah yang
beberapa waktu lalu sering diajarkan oleh para pendidik saat kita
bersekolah di SD, saat ini menjadi sesuatu yang dianggap kuno oleh para
generasi muda. Sebenarnya dan seharusnya, generasi muda lah yang jadi
penerus kemajuan kebudayaan Jawa, bukan dengan membuang jauh-jauh budaya
tersebut.
Sampai saat ini, kita dapat menghitung dengan hitungan jari
orang-orang yang masih peduli memelihara dan membangun kebudayaan Jawa
tersebut. Di sisi lain, membanjirnya budaya luar secara tak langsung
sudah memengaruhi perilaku masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Masayrakat Jawa yang dulu terkenal dengan andap asor, kelembutan,
harmoni, dan kecerdasannya, kini seolah sudah bertolak belakang dengan
adanya kekerasan, kerusuhan, serta sering menentang harmoni.
Pada dasarnya, kebudayaan suku Jawa itu selalu mengutamakan
keselarasan, keseimbangan, dan juga keserasian. Seluruh unsur kehidupan
itu haruslah selalu harmonis dan saling berdampingan. Intinya, segala
hal tersebut haruslah sesuai. Semua hal yang menyebabkan ketidakcocokan
harus dijauhi. Jika ada hal-hal yang menjadi pengganggu keharmonisan,
harus segera didiskusikan dan dibenahi agar bisa kembali harmonis atau
cocok kembali.
Usaha menjaga keharmonisan inilah yang ternyata membuat banyak orang
Jawa tak menyukai konflik secara terbuka. Dalam hal ini, rasanya tak
sampai hati atau bahasa Jawanya ora tekan jika ada rasa
ketidakpuasan atau ketidakcocokan yang diucapkan langsung ke orang
bersangkutan, terlenih bila di depan masyarakat umum atau forum. Untuk
meredakan sebuah konflik, akan lebih etis bila dibicarakan secara
pribadi terlebih dahulu daripada langsung dibuka di depan umum dan
banyak diketahui orang lain.
Tapi, cara seperti itu memiliki kelemahan sebab tak mau bicara secara
terbuka. Artinya, mereka lebih suka bicara di belakang atau tanpa
diketahui oleh yang bersangkutan. Akibat yang ditimbulkan adalah
bukannya berupaya mengembalikan harmonisasi atau keseimbangan, tetapi
malah memelihara ketidakharmonisan tersebut.
Berkaitan dengan hal itu, falsafah memelihara dan menjaga
kehamonisasian tersebut terlihat jelas dari gerakan-gerakan tari
tradisional Jawa, khususnya yang termasuk karya dari para raja Solo dan
Yogyakarta. Gerakan dari tarian ini terkesan luwes, hati-hati, halus,
anggun, penuh perhatian, agung, ekspersi gerak sangat terjaga, ekspresi
wajah juga terjaga, dan tak ada ekspresi spontan yang meledak-ledak.
Intinya, kita semua harus memelihara dan melestarikan kebudayaan Jawa
sebagai bagian dari identitas.
Budaya Jawa - Budaya Sungkem
Budaya Jawa yang kini mulai meredup di kalangan masyarakat Jawa adalah sungkeman. Sungkeman berasal dari kata sungkem
yang berarti ‘mencium tangan dengan posisi setengah jongkok atau
bersimpuh’. Dan sungkeman bisa dimaknai sebagai rangkaian acaranya.
Harus Dilestarikan
Budaya sungkeman kini hanya bisa ditemui dalam acara-acara tertentu
saja. Seperti saat pernikahan dengan adat jawa, atau ketika masa hari
raya Idul Fitri tiba. Di luar tersebut, sudah jarang orang yang mau
menggunakan tradisi sungkeman dalam rangkaian acara mereka. Selain
dianggap tidak praktis, sungkeman juga sudah kehilangan makna. Pada
awalnya, sungkeman disimbolkan sebagai wujud hormat dan bakti khususnya
dari kalangan muda pada pihak yang lebih tua.
Hal ini ditunjukkan dengan kepatuhan untuk melaksanakan sungkem.
Jadi, sebenarnya sungkeman adalah salah satu budaya jawa yang seharusnya
dijaga kelestariannya. Sebab, dalam pelaksanaannya terdapat makna yang
mendalam.
Akibat dari makin memudarnya salah satu kekayaan budaya jawa ini,
makin sedikit pula orang orang yang tahu tentang aturan melakukan
sungkeman. Tak jarang, sungkeman dilakukan sebagai formalitas tanpa
mengedepankan aturan yang benar. Hal ini khususnya terjadi di kalangan
generasi muda.
Aturan Melakukan Sungkem
Aturan melakukan sungkeman yang benar adalah, pihak yang lebih tua
duduk di kursi. Dan orang-orang yang hendak melakukan prosesi sungkeman
datang ke hadapan orang yang lebih tua tersebut. Lalu, ambillah posisi
bersimpuh di hadapan orang yang hendak disungkemi tersebut.
Rapatkan kedua telapak tangan, dan ulurkan kepada orang tua. Setelah
telapak tangan bertemu dengan telapak tangan sang orang tua, lalu
majukan badan Anda. Telapak tangan diposisikan di atas kening sementara
kepala Anda tertuju lurus pada lutut orang yang diberi sungkem. Setelah
dirasa cukup, maka tarik tangan Anda dan mulai melangkah mundur tetap
dalam posisi bersimpuh. Kira-kira dua kali mundur barulah Anda bisa
berdiri untuk kemudian berjalan normal.
Inilah yang menyebabkan budaya sungkeman ini kurang begitu
berkembang. Selain dianggap sulit dan tidak praktis, budaya sungkeman
dianggap sebagai cermin budaya feodal jaman kerajaan.
Budaya Jawa - Bahasa Jawa
Perlu diketahui bahwa daerah yang menjadi pusat kebudayaan Jawa
adalah Yogyakarta dan Surakarta. Selain kedua daerah tersebut, masih ada
banyak lagi wilayah lainnya yang masih memelihara kebudayaan Jawa. Dari
sekian banyak wilayah tempat tinggal orang Jawa, terdapat banyak pula
variasi serta perbedaan-perbedaan yang sifatnya lokal terkait unsur
kebudayaannya. Misalnya saja perbedaan tentang berbagai macam isntilah
teknis, dialek bahasa, dan lain sebagainya.
Tapi, perbedaan-perdenaan tersbut tidaklah bersifat lebar dan besar,
karena masih memperlihatkan sebuah pola atau sistem kenudayaan Jawa.
Terkait dengan hal itu pula, bahasa sehari-hari yang digunakan di
lingkungan Jawa adalah bahasa Jawa. Saat berbicara memakai bahasa Jawa,
ada banyak hal yang harus diperhatikan seperti memerhatikan atau
membedakan tingkatan orang yang diajak berkomuniksi (perbedaan umur dan
status sosial).
Berdasarkan susunannya, bahasa Jawa terbagi ke dalam dua jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Bahasa Jawa Ngoko
Bahasa Jawa Ngoko ini terdiri atas dua, yaitu sebagai berikut.
- Bahasa Jawa Ngoko Lugu atau Ngoko biasa.
- Bahasa Jawa Ngoko Andap. Bahasa ini dipakai berkomunikasi dengan pihak-pihak yang sudah akrab atau dikenal dan orang yang umrunya lebih mudah muda atau orang yang status sosialnya agak lebih tinggi.
2. Bahasa Jawa Krama
Bahasa Jawa Krama ini terdiri atas delapan, yaitu bahasa Madya Ngoko,
bahasa Krama Madya, bahasa Madyantara, bahasa Kramantara, bahasa
Wredhakrama, bahasa Mudhakrama, bahasa Krama Inggil, dan bahasa Krama
Desa.
Nah, itulah ulasan seputar budaya Jawa. Mari kita lestarikan kebudayaan Jawa sekarang juga!
Sumber: www.nomor1.com
Sumber: www.nomor1.com