Dalam dunia perencanaan keuangan, nama Safir Senduk sangatlah dikenal.
Barangkali, dialah orang pertama yang mempopulerkan istilah perencanaan
keuangan. Bahkan mungkin, dia pula yang pertama kali berani
mendeklarasikan diri sebagai seorang perencana keuangan profesional. Dan
Safir memang cukup berhasil di lapangan jasa profesional yang terbilang
masih merupakan barang baru bagi publik Tanah Air itu.
Namun, sukses pendiri Biro Perencanaan Keuangan Safir Senduk &
Rekan ini (berdiri 1998), tidak sebatas pada bidang konsultasi keuangan.
Lebih dari itu, Safir juga dikenal sebagai kolomnis di berbagai media
massa dan penulis buku-buku perencanaan keuangan praktis. Bahkan dua
buku terakhir yang dia tulis—Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya? dan Buka Usaha Nggak Kaya, Percuma!—disambut
antusias oleh khalayak sehingga telah mengukuhkan dirinya sebagai
seorang penulis buku best seller. Yang pertama terbit Desember 2005 dan
hingga sekarang sudah laku sekitar 30.000 eksemplar. Sementara buku
kedua yang terbit akhir Juni 2006 lalu kini sudah terjual hingga 13.000
eksemplar! Untuk buku-buku kategori nonfiksi, maka angka-angka penjualan
sebesar ini jelas lumayan sekali.
Hingga sekarang, tak kurang sudah delapan buku dihasilkan oleh Safir.
Rata-rata karyanya disambut baik oleh pasar. Awalnya, alumnus STIE IBMI
Jakarta dan belajar ilmu perencanaan keuangan keluarga secara otodidak
ini mengaku menulis untuk mendongkrak brand layanan jasa konsultansi yang didirikannya. Namun, belakangan setelah dia merasa brand-nya
cukup kuat, Safir mengaku lebih suka menulis karena idealisme, yaitu
untuk berbagi pengetahuan dan mendidik masyarakat soal kemelekan
finansial.
“Bila seorang penulis menulis untuk idealisme—untuk memberikan sesuatu
berupa edukasi kepada pembaca—ini berarti dia sudah mencapai level
tertinggi dalam menulis,” kata Safir kepada Edy Zaqeus dari Pembelajar.com. Berikut petikan wawancara dengan Safir Senduk menyangkut proses kreatif dan berbagai kiat kepenulisan:
Secara garis besar, apa gagasan utama buku terbaru Anda?
Gagasan utamanya, seorang pengusaha tetap perlu tahu bagaimana cara yang
baik mengelola uangnya. Ini agar mereka bisa jadi kaya dan sejahtera.
Caranya, dengan memisahkan keuangan usaha dan keuangan pribadi,
mengendalikan pemasukan dan pengeluaran, memiliki proteksi, memiliki
investasi lain selain usaha, dan melakukan analisa sebelum membuka usaha
baru.
Mengapa tergerak untuk menulis tema ini?
Karena saya melihat anggapan yang terjadi selama ini di masyarakat,
bahwa untuk menjadi kaya dan sejahtera hanya bisa dicapai dengan membuka
usaha. Padahal, membuka usaha tidak otomatis bikin kita kaya dan
sejahtera. Karena, untuk jadi kaya dan sejahtera sangat bergantung pada
bagaimana kita mengelola uang yang kita dapat dari pekerjaan atau dari
usaha kita.
Apa benar bahwa tak sedikit pengusaha yang kurang memahami cara pengelolaan uang yang baik?
Wah, benar itu! Ada banyak pengusaha yang walaupun menguasai bagaimana
cara berbisnis, tapi mereka sama sekali buta tentang bagaimana mengelola
dan mengembangkan uang mereka. Akhirnya, satu-satunya sumber pendapatan
mereka adalah hanya dari usaha. Tapi, investasi mereka di tempat lain
nggak ada. Atau kalaupun ada, hasilnya memble.
Sejauh ini, bagaimana tanggapan pasar?
Alhamdulillah baik. Saya bersyukur masyarakat bisa menerima buku ini.
Ketika berencana menulis buku ini, beberapa orang di penerbit saya
bilang bahwa buku ini tidak akan selaris buku saya sebelumnya Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?.
Alasannya, mayoritas masyarakat Indonesia—terutama di perkotaan sebagai
pembaca buku terbesar—adalah karyawan. Bukan wiraswasta. Tetapi menurut
saya, apa pun topik buku itu, selama kita bisa mengemas, melakukan
program promosi dan pemasaran yang baik, buku itu pasti akan laku. Itu
terbukti! Selama Juli 2006 kemarin, buku ini menempati peringkat ketiga
untuk kategori Buku Panduan—dimuat di Kompas 19 Juli
2006—bersamaan dengan buku saya sebelumnya yang menduduki peringkat
kelima. Punya dua judul buku yang muncul bersamaan dalam daftar buku
laris adalah satu pencapaian yang buat saya tidak bisa digantikan dengan
uang berapapun jumlahnya.
Anda terbilang sebagai praktisi dan penulis buku perencanaan keuangan
yang produktif. Dari mana dapat ide penulisan buku-buku tersebut?
Saya adalah seorang praktisi perencana keuangan. Ide-ide topik saya
dapatkan dari banyak bergaul dengan klien, peserta di seminar maupun
membaca di media massa. Di situ saya mencoba membuka mata dan telinga
tentang apa yang sebenarnya menjadi anggapan di masyarakat tentang suatu
hal. Dan—kalau memang ada argumennya—saya coba untuk membantahnya. Di
buku Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya? misalnya. Muncul
dari pengamatan saya terhadap adanya anggapan bahwa kalau terus jadi
karyawan akan sulit kaya. Dengan menulis buku yang sifatnya berlawanan
dengan anggapan masyarakat, biasanya akan jadi lebih mudah untuk menarik
perhatian pasar.
Punya pengalaman yang unik terkait dengan buku yang Anda tulis?
Buku Buka Usaha Nggak Kaya? Percuma…! sempat mau saya kasih judul
“Buka Usaha Belum Tentu Bikin Kaya…”. Judul itu sudah ada di pikiran
saya selama berbulan-bulan sebelum akhirnya penerbit saya dengan
santainya bilang: “Kalau bisa judulnya yang lebih positif lagi deh…”.
Hmm, kecewa sekali saya. Ya, iyalah! Judul itu sudah lama ada di kepala
saya. Eh… penerbitnya nggak suka. Ya sudah, akhirnya ganti dengan judul
yang sekarang. Dan, buku ini saya buat dengan penuh perjuangan. Gimana
nggak penuh perjuangan? Nyari waktunya itu yang susah. Seminggu bisa 3-4
kali seminar. Belum lagi ngomong di radio. Nulis di media massa. Karena
itu saya selalu menetapkan deadline di buku agenda saya, bahwa
bab ini harus selesai di tanggal sekian, dan bab itu harus selesai di
tanggal sekian. Ngikutinnya? Berat sekali. Tapi alhamdulillah bisa.
Di antara buku-buku yang Anda tulis, buku mana saja yang paling bagus penjualannya?
Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya? terbit Desember 2005. Sudah laku sekitar 30.000 eksemplar sampai saat ini. Disusul Buka Usaha Nggak Kaya? Percuma…! yang terbit akhir Juni 2006. Sampai saat ini laku 13.000 eksemplar!
Dari mana Anda belajar menulis dulu?
Otodidak. Ada turunannya juga kali. Dulu almarhum ibu saya rajin sekali
membaca. Apa pun juga dia baca. Buku apalagi. Setiap kali selesai
membaca buku, beliau suka menulis kesimpulannya di atas kertas. Selain
itu, karena ayah saya bekerja di sebuah bank milik pemerintah dan
memegang posisi pimpinan, ibu saya aktif di Dharma Wanita-nya. Otomatis
ibu saya harus sering kasih pidato di depan ibu-ibu Dharma Wanita
lainnya. Sebelum memberi pidato, ibu saya menyiapkan pidatonya dengan
menuliskannya terlebih dulu. Jadi, mungkin ada turunannya juga.
Jadi karena turunan dan bukan latihan…?
Tapi menurut saya, yang paling penting dalam belajar menulis adalah
praktik, praktik, dan praktik. Jujur saja, dulu tulisan-tulisan pertama
saya di sebuah majalah, kalau saya baca lagi sekarang, aduh jeleknya…!
Nggak teratur, nggak runtut, dan seringkali bahasanya terlalu susah.
Tapi, dengan terus mengulang dan mengulang, kita akan bisa menemukan
bentuk sendiri dalam menulis. Menurut saya, menulis adalah salah satu
bentuk komunikasi dalam mempengaruhi orang lain agar orang mengikuti
cara berpikir kita.
Kalau ilmu perencanaan keuangan, dari mana Anda belajar?
Belajar sendiri. Selama empat tahun saya seperti kuliah sendiri dengan
belajar dari berbagai macam buku yang saya beli dari dalam maupun luar
negeri. Jangan salah, belajar otodidak itu justru seringkali malah lebih
susah daripada belajar dengan mentor. Karena, proses otodidak biasanya
harus melalui trial and error yang cukup banyak. Sementara belajar melalui mentor seringkali sudah lebih enak karena nggak perlu banyak mengalami error-nya. Jadi, beruntunglah mereka yang sekarang belajar perencanaan keuangan karena sudah ada mentornya.
Anda termasuk praktisi yang berhasil mem-brand diri sebagai seorang financial planner melalui tulisan. Apa memang sejak awal Anda memaksudkan tulisan untuk tujuan ini?
Jujur, iya. Ceritanya, ketika tahun 1998 saya membuka Biro Perencanaan
Keuangan Safir Senduk & Rekan, saya pikir orang otomatis akan datang
dan menjadi klien. Dengan pasang plang, pasang kartu nama, orang akan
otomatis jadi klien. Eh, tunggu punya tunggu, kok klien nggak
datang-datang. Mulailah saya melakukan pemasaran dengan melakukan cold call.
Telepon prospek. Setiap pagi saya telepon sekitar sepuluh prospek. Dari
sepuluh orang yang saya telepon, sekitar tiga sampai empat orang yang
mau ketemu. Lalu, sekitar satu dari delapan orang yang saya temui
akhirnya menjadi klien. Itu terus yang saya lakukan setiap hari.
Terus saya pikir, supaya saya nggak terus menerus telepon, saya coba
melakukan promosi jangka panjang supaya nanti oranglah yang datang ke
saya, bukan saya yang mencari mereka. Akhirnya, saya mulai menulis.
Tulisan pertama saya muncul di majalah Tiara tahun 1998 dalam
bentuk rubrik yang namanya Tips Uang. Dan seterusnya. Disusul dengan
tulisan di majalah-majalah lain. Akhirnya betul, lama-lama orang jadi
tahu nama saya, dan merekalah yang akhirnya datang ke saya. Jadi, ya
sejak awal menulis, tujuan saya memang untuk branding.
Tapi jujur, ketika brand itu sudah didapat sejak beberapa tahun
lalu, tujuan saya menulis berubah yaitu untuk idealisme. Orang Indonesia
harus mendapatkan edukasi tentang bagaimana cara yang baik dalam
mengelola keuangan. Saya pikir, sah-sah saja kita menulis untuk tujuan
bisnis, yaitu untuk branding. Tapi, saya pikir menulis untuk
idealisme berupa edukasi akan jauh lebih mulia. Saya bukan orang suci.
Tapi, dengan menulis untuk tujuan idealisme, saya pikir itu akan lebih fair buat
pembaca. Karena, si penulis akan jadi lebih tulus dan netral dalam
menulis, bukan karena ingin menjual atau memasarkan dirinya sendiri.
Anda setuju bahwa tulisan atau buku merupakan cara ampuh untuk menciptakan personal brand?
Setuju banget! Ada banyak buktinya. Tentu saja, buku dan artikel di
media massa punya kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Artikel di
media massa mungkin bisa menjangkau lebih banyak pembaca, tapi umurnya
lebih pendek. Ketika saya menulis di sebuah tabloid mingguan dengan
topik Kiat Mempersiapkan Masa Pensiun misalnya, memang banyak yang baca
dan suka dengan topik itu. Tapi, umurnya cuma seminggu karena minggu
depannya tabloid itu sudah terbit lagi yang baru. Untung saya nulisnya
tiap minggu. Sementara kalau buku, pembacanya mungkin tidak sebanyak
pembaca artikel di media massa. Tapi umurnya lebih panjang. Bisa
beberapa bulan, sebelum akhirnya ada judul buku lain lagi yang menarik
perhatian pembaca.
Tapi begini, sebuah tulisan bisa menciptakan personal brand tertentu.
Asal, menurut saya, tulisan itu memiliki konsep yang betul-betul bisa
diterima oleh pembaca. Dan, yang paling penting, tulisan itu menarik.
Jangan lupa, konsisten pada satu topik. Saya pernah melihat ada orang
yang—mungkin karena pinter banget—menulis tentang perencanaan keuangan,
tapi juga menulis tentang bisnis dan ekonomi. Secara topik mungkin dia
menguasai. Tapi secara marketing, itu bunuh diri. Jadi, dalam menulis,
cobalah konsisten. Saya—biarpun bisa main golf misalnya—nggak akan mau
nulis tentang golf, sampai kapan pun, karena itu bisa berbahaya bagi positioning saya.
Bagaimana dengan potensi pasar buku keuangan populer dan kewirausahaan sekarang ini?
Saya percaya bahwa topik buku apa pun—termasuk buku keuangan populer dan
wirausaha—kalau dipasarkan dengan baik, tetap bisa laku. Jujur saja,
sekarang ada banyak sekali buku keuangan populer dan kewirausahaan yang
nggak laku di pasar. Kenapa? Macam-macam! Mungkin karena topiknya
terlalu akademis. Mungkin karena bahasanya terlalu teoritis, dan
sebagainya. Kalau reputasi pengarang? Eit…, jangan salah! Siapa nama
pengarang nggak ngejamin bukunya bisa laku, lho. Jujur saja, bukan
berarti nama saya Safir Senduk maka saya bisa sembarangan bikin buku
perencanaan keuangan. Buku saya bisa laku lebih karena adanya pemilihan
topik, kemasan, dan proses promosi yang panjang. Bukan karena nama saya
Safir Senduk. Jadi, semua orang punya kesempatan yang sama untuk bikin
buku perencanaan keuangan yang laku.
Ada kiat-kiat supaya berhasil nembus pasar?
Saya kasih kiatnya ya.
Pertama, jangan melulu berkutat di
topik-topik yang sudah basi. Contoh: “Kalau Mau Kaya? Buka Usaha
Dong…!”. Waduh, itu basi banget! Udah berulang-ulang kali dibahas orang.
Lewatin saja topik begitu.
Kedua, sesuaikan gaya bahasa dengan pasar yang ingin dituju. Lha,
kalau bukunya adalah buku populer, jangan pakai gaya bahasa yang
teoritis. Nanti orang cepet ngantuk.
Ketiga, nggak usah terlalu tebal. Kalau bukunya buku populer, biasanya orang nggak begitu suka kalau tebal.
Keempat, minta testimoni untuk ditaruh di belakang buku. Cuma
kalau pakai testimoni, kalau bukunya buku populer, nggak usahlah minta
testimoni dari orang-orang yang buat sebagian orang ‘ketinggian’.
Contoh, saya pernah melihat buku keuangan populer, tapi testimoninya
dari orang DPR-lah, menteri inilah, rektor itulah, dan sebagainya.
Ketinggian! Nanti orang takut untuk baca.
Kelima, jangan hanya kenalkan diri lewat buku. Miliki juga channel distribusi
lain seperti menulis artikel di media massa. Miliki website, kalau
perlu dengan nama domain sendiri. Miliki juga nama email dengan domain
sendiri, bukan yang gratisan kayak yahoo atau hotmail.
Keenam, selalu konsisten pada tema penulisan yang sama. Kalau
nulis tentang perencanaan keuangan, ya sudah nulis perencanaan keuangan
aja. Supaya ntar orang gampang kenalnya.
Ketujuh, jangan malu-malu untuk menunjukkan diri. Banyak
pengarang yang tidak suka menonjolkan dirinya, tapi lebih suka
menonjolkan bukunya. Nggak apa-apa juga. Tapi nanti bukunya nggak akan
selaku kalau ia juga mau menunjukkan diri secara personal.
Kedelapan, jalin hubungan baik dengan toko buku. Datang ke toko
buku, kenalkan diri dengan Supervisor Penjualan. Jalin juga hubungan
baik dengan Divisi Promosi di penerbit.
Sembilan, jangan sombong ketika bersosialisasi dengan orang lain.
Ini mungkin klise. Tapi banyak orang yang tidak akan membeli buku kita
kalau secara personal dia tidak suka dengan kita. Sayangnya, saya banyak
melihat pengarang buku-buku keuangan populer dan wirausaha yang
seringkali membuat gap sosial dengan orang lain. Mereka hanya mau
bergaul dengan orang yang dia pikir selevel, seperti sesama pengarang,
pejabat, dsb. Padahal, laku tidaknya buku kita, lebih banyak karena
berasal dari mereka yang memang bukan punya profesi seperti kita.
Sepuluh, terus belajar, terutama dari orang-orang Indonesia
sendiri. Tempat untuk belajar ada banyak sekali, salah satunya adalah di
seminar. Tapi jangan salah, banyak pengarang buku keuangan populer dan
wirausaha yang gengsi kalau hadir di seminar dengan pembicara orang
Indonesia, tapi mau hadir kalau pembicaranya adalah orang asing, bahkan
kalau nama orang asing itu belum pernah terdengar sebelumnya. Kita ini
terlalu luar negeri minded. Apa-apa yang dari luar negeri itu
dianggap baik. Padahal, kalau kita mau belajar dari sesama orang
Indonesia, kita akan dapat ide-ide baru dan segar yang justru lebih
membumi. Belajar juga dari milis-milis. Salah satunya adalah milis PenulisBestSeller@yahoogroups.com.
Penulis buku yang Anda kagumi atau mempengaruhi Anda?
Dulu waktu kecil, jelas Arswendo Atmowiloto. Gayanya yang
‘langsung-langsung’ sangat mempengaruhi saya. Sekarang, untuk buku
keuangan populer dan wirausaha serta motivasi, pengarang yang dulu
pertama kali saya kagumi ketika membacanya adalah Andrias Harefa.
Biarpun—mungkin karena dia sangat pintar—kadang-kadang dia nggak terlalu
to the point dalam menyampaikan pemikirannya. Tapi ada sesuatu dalam
tulisan-tulisannya yang membuat saya selalu terinspirasi. Paulus Winarto
juga oke. Keunggulannya pada cara menyampaikan ‘pengalamannya’ dalam
setiap poin.
Untuk buku perencanaan keuangan, Antony Japari menurut saya cukup baik.
Tulisannya semakin matang. Saya banyak belajar dari beliau, terutama
tentang perencanaan keuangan. Masbukhin Pradhana, gaya bahasanya sudah
cukup populer untuk orang yang baru pertama kali menulis buku. Dia akan
jadi bintang di masa mendatang, asalkan dipasarkan dengan benar. Untuk
buku pemasaran populer, saya suka Hermawan Kartajaya. Bukunya Marketing in Venus sangat luar biasa. Saya juga suka Edy Zaqeus, terutama bukunya yang berjudul Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller. Kekuatan dia saya pikir ada pada buku-buku yang bertopik tentang penulisan, bukan yang lain.
Untuk cerpen, saya suka Ade Kumalasari. Bahasa dia di cerpen seringkali sangat to the point dibanding ketika di novel. Saya juga suka cara dia menutup ending pada
setiap tulisan-tulisannya. Setahu saya, ending-ending seperti itu
menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Dia akan jadi sangat terkenal di
masa mendatang sebagai pengarang mumpuni asal dia terus produktif.
Pengarang asing? Stephen Covey. Cuma karena mungkin buku itu ditujukan
buat HRD perusahaan, buku itu jadi tampil lebih ‘rumit’. Seharusnya bisa
dibuat lebih populer lagi. Robert Kiyosaki, biarpun saya nggak terlalu
setuju sama isinya, tapi gaya bahasanya populer. Terbukti dari banyak
orang yang terbawa pada alur pikirannya.
Definisi penulis sukses menurut Anda?
Gampang. Penulis sukses adalah penulis yang bisa mengkomunikasikan
ide-idenya kepada pembaca, dan pembaca bisa menerima ide-ide tersebut
tanpa merasa dipengaruhi. Seorang penulis sukses saran saya sebaiknya
tidak hanya menulis untuk branding. Tapi untuk idealisme. Penulis
yang menulis dengan maksud untuk bisnis, menurut saya hanya akan
terjebak pada persaingan yang tidak sehat dengan sesama penulis lain
yang menulis topik yang sama. Tetapi, bila seorang penulis menulis untuk
idealisme, untuk memberikan sesuatu berupa edukasi kepada pembaca, ini
berarti dia sudah mencapai level tertinggi dalam menulis, yaitu
memberikan sesuatu untuk masyarakat.
Ok, thanks. Sukses selalu….
Sama-sama. Pesan saya, kunci menulis itu sederhana saja: menulis,
menulis, dan menulis lagi. Praktik, praktik, dan praktik lagi. Karena
semua orang bisa menulis.(ez)
Sumber: www.nomor1.com