Galih namanya. Pria kecil itu tengah merenungkan sesuatu. Pria kecil
yang pandai namun sombong itu masih terus memikirkan sesuatu. Entah apa
yang dia pikirkan. Pikirannya menerawang ke masa dua puluh tahun
mendatang. Masa di mana dia ingin mengubah dunia. Ya. Itulah cita-cita
terbesarnya. Dia ingin mengubah dunia. Dia ingin agar dia tak hidup
melarat lagi. Dengan mengubah dunia, dunianya pun pasti akan berubah.
Begitulah pikirnya.
Pria kecil itu tersenyum kecut. Jika dia bisa mengubah dunia, dia
bisa berkuasa di sana juga. Karena tak akan ada orang yang lebih pintar
darinya. Pikir dia.
Dia pun segera berlari menuju rumahnya. Dia akan mencari sebuah jalan agar dia bisa mengubah dunia.
“Aku pasti bisa. Aku bisa mengubah dunia. Coba saja, siapa yang lebih
pintar dariku? Tak ada orang yang sepandai aku. Akulah yang terpandai.”
Ucapnya dengan lagak sombong.
Senyumnya merekah. Dia yakin tak lama lagi dia akan menjadi seorang yang sukses.
Detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi
tahun, tak ada sedikit pun perubahan dari hidup Galih. Sekarang umur dia
sudah menginjak lima belas tahun. Mungkin selama lima tahun itu dia
mencari cara untuk mengubah dunia dengan otaknya yang luar biasa cerdas.
Namun tak sama sekali bisa.
Hingga akhirnya dia memilih menyerah dan mencari cita-cita lain. Satu ide pun terlintas di benaknya.
“Mengapa aku tak mengubah Indonesia terlebih dahulu? Indonesia kan
lebih kecil daripada dunia. Benar. Aku harus mengubah Indonesia. Otak
pandaiku pasti berjalan. Tak ada orang di Indonesia yang lebih pandai
dariku. Kau sangat jenius Galih!”
Dia pun berfikir dan mulai mencari cara untuk mengubah Indonesia. Dia
tak perlu belajar. Otaknya sudah pandai. Di sekolah pun tak perlu
memperhatikan, dia sudah sangat pandai. Ya, pandai namun sombong.
Hingga saat hasil UN datang, Galih memperoleh nilai yang sempurna.
Sangat sempurna. Dan semenjak saat itu, keinginan Galih untuk mengubah
Indonesia sudah sangat besar. Tak kalah besar dengan sikap sombong dan
angkuhnya.
Saat dia bersekolah di SMA yang termasuk sekolah paling favorit, dia
sangat terkenal. Kepandaiannya di kenal oleh seluruh siswa di sana. Namun ada sesuatu hal buruk yang menjadi gunjingan anak-anak SMA
tersebut, sombong. Galih sangat sombong.
Semakin hari, kesombongannya
selalu semakin berkembang. Menyeruak menelusuk masuk hingga ke dalam
pori-pori tubuhnya. Seluruh tubuhnya sudah dipenuhi kesombongan.
Kesombongan karena merasa dialah yang paling pandai. Dia selalu berfikir
bahwa tak ada orang yang lebih pandai darinya.
Hingga suatu ketika, datanglah seorang yang menjadi saingannya.
Semakin hari, dia kalah oleh saingannya itu. Yang tak lain bernama
Pandu. Dia adalah seorang pria yang rajin dan pandai. Tak ada sedikit
pun kesombongan tertabur di hatinya. Tak ada sedikit pun benih
kecurangan dalam raut matanya. Dia sungguh terlihat sangat sopan dan
berwibawa. Hal itu sangat dibenci oleh Galih.
Sampai ketika Pandu sedang melaksanakan sholat di mushola sekolah,
Galih dan teman-temannya mengintip Pandu. Mereka berniat untuk menghajar
Pandu setelah dia selesai sholat.
Ketika Pandu telah selesai, Galih dan dua orang temannya berjajar menutupi jalan untuk Pandu lalui.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Pandu sambil tersenyum pada mereka.
Galih tersenyum sinis. Sekejap dia terdiam, namun tiba-tiba tangannya melayang keras ke wajah Pandu.
“Bukkk!”
—
Pria itu telah keluar dari penjara. Setelah tujuh tahun berada di
balik jeruji besi terkutuk itu, akhirnya dia keluar. Dia dikurung dalam
sel akibat tuduhan penganiayaan. Bukan tuduhan, tapi sudah pasti. Saat
itu Galih dan teman-temannya menghajar Pandu habis-habisan.
Sampai-sampai Pandu terbaring di atas ranjang rumah sakit selama dua
puluh hari akibat lukanya yang cukup parah itu.
Saat itu Pandu memang tak bisa melawan. Karena dua orang teman Galih
memegangnya keras. Dan akhirnya Pandu kalah. Namun, di balik hal itu,
kini Pandu sudah menjadi seorang pengusaha kaya dalam usia yang sangat
belia. Belum mencapai umur tiga puluh tahun, dia sudah bisa memimpin
kotanya sendiri. Kota tersebut hidup sejahtera. Dia memang seorang
walikota di kotanya.
Rasa dendam Galih masih belum pudar. Dia masih terus ingin
menghabiskan Pandu. Dan dia pun berniat melamar pekerjaan di kantor
walikota. Dia memakai pakaian tertutup dan juga topi. Untuk memastikan
agar dia tak dikenali orang-orang di sana. Sebenarnya, niat dia adalah
untuk memporak-porandakan kantor walikota. Dia ingin menghancurkan apa
yang seharusnya dia miliki sekarang. Yang seharusnya bukan milik Pandu.
Tahun-tahun berlalu. Umur Galih semakin hari semakin berkurang.
Setelah dua kali keluar dari balik sel hitam dan gelap itu, Galih ingin
mengubah keluarganya. Dari dulu dia memang miskin. Sampai sekarang
sangat miskin. Dia sedikit menitikan air mata ketika melihat keluarganya
kekuarangan. Padahal jika dia tak memporak-porandakan kantor walikota
saat itu, mungkin dia tak akan seperti ini. Mungkin. Tapi jika dia tak
menghajar Pandu, mungkin dia tak akan seperti ini. Mungkin. Tapi ada
satu hal lagi yang tak akan membuatnya seperti ini. Sombong. Ya. Jika
dia tak sombong. Pasti dia tak akan seperti ini. Pasti.
Kini, dia telah menyadari betapa sulitnya mengubah orang lain. Betapa
sulitnya mengubah sesuatu. Dia menyadari bahwa ada satu hal yang belum
pernah dia niati untuk dia ubah. Ya. Dirinya sendiri. Dia tidak pernah
berfikir untuk mengubah dirinya sendiri. Saat dia masih sangat muda dan
namanya masih bersih, dia sangat pandai dan cerdas. Dia benar-benar
cerdas. Namun kesombongan yang merajalela di dalam hatinya telah kuat
dan kebal terhadap apapun. Sehingga sekaranglah akibat yang terjadinya.
Galih sudah tak punya masa depan. Entah bagaimana hidupnya di tua nanti
kelak. Jika di usianya yang masih tiga puluh lima tahun ini dia seperti
ini. Pengangguran. Tak ada satu pun bidang pekerjaan yang mau menerima
Galih. Mungkin kecuali sebagai pemulung.
Kini mimpinya untuk mengubah dunia kandas. Mimpinya untuk mengubah
Indonesia pupus. Dan mimpinya untuk mengubah keluarganya tinggal bayang
semu. Tak ada lagi harapan untuk ke depan dalam hidupnya. Kini sudah
hancur segala angan-angan dan apa yang dicita-citakannya telah hilang.
Hidupnya tak ubah. Tak ubah. Tak sedikit pun. Malah lebih buruk dari
sebelumnya.
Kini dia mungkin menjalani hidupnya dengan karma. Dan itu mungkin karma untuknya. Siapa yang bisa lari dari karma?
Penyesalan yang besar sudah mulai masuk ke rongga hatinya. Air mata
mulai membasahi seulas wajah kusut yang hampir stres karena keinginannya
itu. Penyesalan, ingin mengulangi lagi waktu yang dulu pernah dia
lalui. Dia sungguh merasakan betapa singkatnya waktu ini. Hingga
sekarang dia merasakan betapa sangat sebentarnya dia merasakan bisa
berkuasa. Dia hanya merasakan sebentar kebahagiaan. Itu karena sikapnya
sendiri. Mungkin ini adalah balasan yang paling pantas untuk di
dapatkannya.
Pria yang dulu kecil itu tengah terduduk di atas banyaknya tumpukan
sampah. Bajunya kotor. Wajahnya lusuh. Penampilannya sungguh seperti
seorang gelandangan. Pandangannya nanar menatap langit. Air matanya
turun membasahi setiap lekuk kusut wajah lusuhnya.
“Ya Allah. Hidupku tak ubah. Dari dulu masih seperti ini. Bahkan
sekarang lebih parah. Aku sangat berharap bahwa aku bisa mengubah
seluruh dunia. Tapi itu sangat sulit. Aku tahu mengapa. Karena
seharusnya aku memulai dari yang paling kecil. Diriku. Tapi aku tak
bisa. Aku selalu merasa dengan mengalahkan orang lain adalah hal yang
sangat hebat. Namun aku salah. Mengalahkan ego diri sendirilah yang
lebih hebat. Ya Allah, aku harap aku lebih menyadari ini dari
sebelumnya.” Lirihnya.
Pria itu mengusap secercah air matanya. Dia pun berdiri dan mulai
berjalan menjauhi tumpukan sampah itu. Jalannya gontai mengetahui takdir
dan kejamnya dunia saat itu. Wajahnya sudah tak menunjukan dia yang
dulu lagi. Sikapnya pun sama. Begitulah! Orang-orang selalu seperti dia
selalu menyesal pada akhirnya. Padahal, dengan apa yang dia lakukan tak
dapat mengubah dirinya. Bukan dengan mengubah sesuatu dapat mengubah
diri. Tapi mengubah diri dapat mengubah sesuatu. Maka, jangan seperti
dia. Hingga akhir, yang dia dapat hanyalah TAK UBAH.
- SEKIAN -
Sumber: www.nomor1.com