Breaking

Tak Ada Perubahan, Tak Ada Kesuksesan

Tak Ubah Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Galih namanya. Pria kecil itu tengah merenungkan sesuatu. Pria kecil yang pandai namun sombong itu masih terus memikirkan sesuatu. Entah apa yang dia pikirkan. Pikirannya menerawang ke masa dua puluh tahun mendatang. Masa di mana dia ingin mengubah dunia. Ya. Itulah cita-cita terbesarnya. Dia ingin mengubah dunia. Dia ingin agar dia tak hidup melarat lagi. Dengan mengubah dunia, dunianya pun pasti akan berubah. Begitulah pikirnya.

Pria kecil itu tersenyum kecut. Jika dia bisa mengubah dunia, dia bisa berkuasa di sana juga. Karena tak akan ada orang yang lebih pintar darinya. Pikir dia.

Dia pun segera berlari menuju rumahnya. Dia akan mencari sebuah jalan agar dia bisa mengubah dunia.

“Aku pasti bisa. Aku bisa mengubah dunia. Coba saja, siapa yang lebih pintar dariku? Tak ada orang yang sepandai aku. Akulah yang terpandai.” Ucapnya dengan lagak sombong.

Senyumnya merekah. Dia yakin tak lama lagi dia akan menjadi seorang yang sukses.

Detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun, tak ada sedikit pun perubahan dari hidup Galih. Sekarang umur dia sudah menginjak lima belas tahun. Mungkin selama lima tahun itu dia mencari cara untuk mengubah dunia dengan otaknya yang luar biasa cerdas. Namun tak sama sekali bisa.

Hingga akhirnya dia memilih menyerah dan mencari cita-cita lain. Satu ide pun terlintas di benaknya.

“Mengapa aku tak mengubah Indonesia terlebih dahulu? Indonesia kan lebih kecil daripada dunia. Benar. Aku harus mengubah Indonesia. Otak pandaiku pasti berjalan. Tak ada orang di Indonesia yang lebih pandai dariku. Kau sangat jenius Galih!”

Dia pun berfikir dan mulai mencari cara untuk mengubah Indonesia. Dia tak perlu belajar. Otaknya sudah pandai. Di sekolah pun tak perlu memperhatikan, dia sudah sangat pandai. Ya, pandai namun sombong.

Hingga saat hasil UN datang, Galih memperoleh nilai yang sempurna. Sangat sempurna. Dan semenjak saat itu, keinginan Galih untuk mengubah Indonesia sudah sangat besar. Tak kalah besar dengan sikap sombong dan angkuhnya.

Saat dia bersekolah di SMA yang termasuk sekolah paling favorit, dia sangat terkenal. Kepandaiannya di kenal oleh seluruh siswa di sana. Namun ada sesuatu hal buruk yang menjadi gunjingan anak-anak SMA tersebut, sombong. Galih sangat sombong. 

Semakin hari, kesombongannya selalu semakin berkembang. Menyeruak menelusuk masuk hingga ke dalam pori-pori tubuhnya. Seluruh tubuhnya sudah dipenuhi kesombongan. Kesombongan karena merasa dialah yang paling pandai. Dia selalu berfikir bahwa tak ada orang yang lebih pandai darinya.

Hingga suatu ketika, datanglah seorang yang menjadi saingannya. Semakin hari, dia kalah oleh saingannya itu. Yang tak lain bernama Pandu. Dia adalah seorang pria yang rajin dan pandai. Tak ada sedikit pun kesombongan tertabur di hatinya. Tak ada sedikit pun benih kecurangan dalam raut matanya. Dia sungguh terlihat sangat sopan dan berwibawa. Hal itu sangat dibenci oleh Galih.

Sampai ketika Pandu sedang melaksanakan sholat di mushola sekolah, Galih dan teman-temannya mengintip Pandu. Mereka berniat untuk menghajar Pandu setelah dia selesai sholat.

Ketika Pandu telah selesai, Galih dan dua orang temannya berjajar menutupi jalan untuk Pandu lalui.

“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Pandu sambil tersenyum pada mereka.

Galih tersenyum sinis. Sekejap dia terdiam, namun tiba-tiba tangannya melayang keras ke wajah Pandu.
“Bukkk!”
Pria itu telah keluar dari penjara. Setelah tujuh tahun berada di balik jeruji besi terkutuk itu, akhirnya dia keluar. Dia dikurung dalam sel akibat tuduhan penganiayaan. Bukan tuduhan, tapi sudah pasti. Saat itu Galih dan teman-temannya menghajar Pandu habis-habisan. Sampai-sampai Pandu terbaring di atas ranjang rumah sakit selama dua puluh hari akibat lukanya yang cukup parah itu.

Saat itu Pandu memang tak bisa melawan. Karena dua orang teman Galih memegangnya keras. Dan akhirnya Pandu kalah. Namun, di balik hal itu, kini Pandu sudah menjadi seorang pengusaha kaya dalam usia yang sangat belia. Belum mencapai umur tiga puluh tahun, dia sudah bisa memimpin kotanya sendiri. Kota tersebut hidup sejahtera. Dia memang seorang walikota di kotanya.

Rasa dendam Galih masih belum pudar. Dia masih terus ingin menghabiskan Pandu. Dan dia pun berniat melamar pekerjaan di kantor walikota. Dia memakai pakaian tertutup dan juga topi. Untuk memastikan agar dia tak dikenali orang-orang di sana. Sebenarnya, niat dia adalah untuk memporak-porandakan kantor walikota. Dia ingin menghancurkan apa yang seharusnya dia miliki sekarang. Yang seharusnya bukan milik Pandu.

Tahun-tahun berlalu. Umur Galih semakin hari semakin berkurang. Setelah dua kali keluar dari balik sel hitam dan gelap itu, Galih ingin mengubah keluarganya. Dari dulu dia memang miskin. Sampai sekarang sangat miskin. Dia sedikit menitikan air mata ketika melihat keluarganya kekuarangan. Padahal jika dia tak memporak-porandakan kantor walikota saat itu, mungkin dia tak akan seperti ini. Mungkin. Tapi jika dia tak menghajar Pandu, mungkin dia tak akan seperti ini. Mungkin. Tapi ada satu hal lagi yang tak akan membuatnya seperti ini. Sombong. Ya. Jika dia tak sombong. Pasti dia tak akan seperti ini. Pasti.

Kini, dia telah menyadari betapa sulitnya mengubah orang lain. Betapa sulitnya mengubah sesuatu. Dia menyadari bahwa ada satu hal yang belum pernah dia niati untuk dia ubah. Ya. Dirinya sendiri. Dia tidak pernah berfikir untuk mengubah dirinya sendiri. Saat dia masih sangat muda dan namanya masih bersih, dia sangat pandai dan cerdas. Dia benar-benar cerdas. Namun kesombongan yang merajalela di dalam hatinya telah kuat dan kebal terhadap apapun. Sehingga sekaranglah akibat yang terjadinya. Galih sudah tak punya masa depan. Entah bagaimana hidupnya di tua nanti kelak. Jika di usianya yang masih tiga puluh lima tahun ini dia seperti ini. Pengangguran. Tak ada satu pun bidang pekerjaan yang mau menerima Galih. Mungkin kecuali sebagai pemulung.

Kini mimpinya untuk mengubah dunia kandas. Mimpinya untuk mengubah Indonesia pupus. Dan mimpinya untuk mengubah keluarganya tinggal bayang semu. Tak ada lagi harapan untuk ke depan dalam hidupnya. Kini sudah hancur segala angan-angan dan apa yang dicita-citakannya telah hilang. Hidupnya tak ubah. Tak ubah. Tak sedikit pun. Malah lebih buruk dari sebelumnya.

Kini dia mungkin menjalani hidupnya dengan karma. Dan itu mungkin karma untuknya. Siapa yang bisa lari dari karma?

Penyesalan yang besar sudah mulai masuk ke rongga hatinya. Air mata mulai membasahi seulas wajah kusut yang hampir stres karena keinginannya itu. Penyesalan, ingin mengulangi lagi waktu yang dulu pernah dia lalui. Dia sungguh merasakan betapa singkatnya waktu ini. Hingga sekarang dia merasakan betapa sangat sebentarnya dia merasakan bisa berkuasa. Dia hanya merasakan sebentar kebahagiaan. Itu karena sikapnya sendiri. Mungkin ini adalah balasan yang paling pantas untuk di dapatkannya.

Pria yang dulu kecil itu tengah terduduk di atas banyaknya tumpukan sampah. Bajunya kotor. Wajahnya lusuh. Penampilannya sungguh seperti seorang gelandangan. Pandangannya nanar menatap langit. Air matanya turun membasahi setiap lekuk kusut wajah lusuhnya.

“Ya Allah. Hidupku tak ubah. Dari dulu masih seperti ini. Bahkan sekarang lebih parah. Aku sangat berharap bahwa aku bisa mengubah seluruh dunia. Tapi itu sangat sulit. Aku tahu mengapa. Karena seharusnya aku memulai dari yang paling kecil. Diriku. Tapi aku tak bisa. Aku selalu merasa dengan mengalahkan orang lain adalah hal yang sangat hebat. Namun aku salah. Mengalahkan ego diri sendirilah yang lebih hebat. Ya Allah, aku harap aku lebih menyadari ini dari sebelumnya.” Lirihnya.

Pria itu mengusap secercah air matanya. Dia pun berdiri dan mulai berjalan menjauhi tumpukan sampah itu. Jalannya gontai mengetahui takdir dan kejamnya dunia saat itu. Wajahnya sudah tak menunjukan dia yang dulu lagi. Sikapnya pun sama. Begitulah! Orang-orang selalu seperti dia selalu menyesal pada akhirnya. Padahal, dengan apa yang dia lakukan tak dapat mengubah dirinya. Bukan dengan mengubah sesuatu dapat mengubah diri. Tapi mengubah diri dapat mengubah sesuatu. Maka, jangan seperti dia. Hingga akhir, yang dia dapat hanyalah TAK UBAH.

- SEKIAN -