Alkisah, ada seorang pengusaha yang cukup terpandang di sebuah kota. Suatu ketika, dia ingin pergi berlibur ke desa kelahiran ayahnya untuk istirahat sejenak dari kepenatan pekerjaan. Selain rehat sejenak, di sana ia juga ingin menemui kakeknya yang masih tinggal di desa tersebut.
Ia ingin mengunjungi kakeknya karena memang hubungan di antara mereka
cukup dekat, meski belakangan ini mereka jarang bertemu. Tak jarang,
bila sedang dirundung masalah, si pengusaha muda mencari dan mendapat
banyak nasihat dari kakeknya.
Sesampai di desa tersebut, setelah berkangen-kangenan sejenak, si
kakek segera bisa menangkap maksud kedatangan cucunya. Itu terlihat dari
sikap dan raut wajah cucunya. Sunggingan senyum yang seperti dipaksakan
di wajah cucunya tak bisa menyembunyikan raut kegelisahan.
Maka, keesokan pagi, tanpa basa-basi, kakek pun segera menegur sang
cucu di tengah percakapan mereka. “Cucuku. Kedatanganmu kemari pasti ada
sesuatu yang ingin kamu bicarakan dengan kakek. Ayo, tidak perlu
basa-basi lagi, ceritakan saja kepada kakekmu ini. Biarpun sudah tua
begini, kakekmu belum pikun dan masih bisa menjadi tempat curhatmu
seperti dulu.”
Sambil tersenyum malu si pemuda menjawab, “Kakek memang hebat. Tidak
ada persoalan yang bisa kusembunyikan. Begini kek, Kakek kan tahu,
usahaku saat ini cukup maju. Semua hasil yang kuperoleh adalah berkat
modal dan bimbingan ayah kepadaku. Kakek juga tahu, aku menikahi istri
yang cantik dan pandai. Di sekolah dulu, dia selalu menjadi juara dan
primadona. Sekarang pun berkat bantuannya, banyak proyek yang bisa kita
dapatkan sehingga usaha kita berkembang semakin besar. Tapi…” Tiba-tiba
si pemuda terdiam sejenak, tak meneruskan kalimatnya. Ia hanya terlihat
menerawang.
Kakeknya pun kemudian menyela. “Bukankah semua yang kamu ceritakan
tadi bagus adanya? Kakek belum mengerti masalahmu ada dimana?” Kejar si
kakek yang ingin tahu apa yang membuat cucunya terlihat gelisah.
“Jujur saja Kek. Saya merasa tidak percaya diri, bahkan minder bila
berhadapan dengan orang asing. Saya merasa, hasil usaha yang telah
dicapai adalah karena kontribusi orang-orang di sekitar saya. Dan,
sepertinya orang-orang pun menilainya begitu. Saya hanyalah sekadar
orang yang beruntung, berada di tempat dan saat yang tepat serta
mempunyai pendamping yang tepat pula. Sungguh, saya merasa tertekan
dengan kondisi itu,” kata si pemuda menunduk lesu.
“Cucuku. Coba pikir baik-baik. Seperti katamu tadi, kamu berhasil
karena berada di tempat, saat, dan dengan pendamping yang tepat dan
benar. Nah, jika tempat, waktu dan pendamping itu tanpa adanya dirimu
sendiri, apakah ada keberhasilan ini? Justru kunci suksesnya ada di
dirimu sendiri, cucuku…”
Mendengar jawaban tersebut, si pemuda pun merenung sejenak.
Tiba-tiba, ia pun berseru, “Waduh Kek… Saya kok tidak pernah menyadari
hal ini sebelumnya ya? Semua keberhasilan ini tanpa saya tidak akan ada.
Terima kasih atas pelajarannya kek. Sekarang saya merasa jauh lebih
baik dan lebih percaya diri.”
Pembaca yang budiman,
Sungguh, kita akan sangat menderita jika kita terbenam dalam sikap
rendah diri hingga tak punya kepercayaan diri. Padahal sejatinya, di
manapun dan kapan pun kita berada, jika kita menyadari hakekat kemampuan
diri, pastilah masing-masing kita memiliki peranan, tanggung jawab dan
prestasi yang sudah dikerjakan.
Memang, tidak ada sesuatu prestasi yang luar biasa yang bisa tercipta
tanpa bantuan orang lain. Namun, kita juga harus memiliki citra diri
yang sehat, mampu menghargai diri sendiri serta dapat membangun
kepercayaan diri dengan usaha yang telah kita buktikan.
Dengan mengembangkan citra diri yang positif, maka kita akan memiliki
pula, yakni kepercayaan diri yang sehat, bisa menghargai orang lain dan
diri sendiri, dan mampu menempatkan diri di mana pun kita bergaul
dengan simpatik, gembira dan menyenangkan. Dengan begitu, kebahagiaan
akan selalu kita dapatkan.
Sumber : www.nomor1.com