“Marina, cepat! Orang–orang sudah menunggumu”, kata wanita berkacamata yang tiap hari menemaniku kemana-mana ini.
“Iya, aku akan segera kesana”, jawabku sambil tersenyum.
Hari ini, 11 April 2012. Dua jam lagi adalah acara peluncuran novel
ke-6 ku, yang tentu saja untuk mempersiapkan promosi agar acara ini
diketahui oleh publik, aku dan team manajemen mengundang beberapa
reporter dari stasiun televisi swasta dan para pembaca setia novelku di
gedung pusat perbelanjaan buku dan musik terbesar di kota ini yang
desainnya sedikit klasik dan elegan. Hari ini, semua reporter dan
kameramen pasti sudah bersiap dengan segudang pertanyaan yang akan
diajukan. Dan para pembaca setia novelku sudah menunggu sambil
melambaikan tangan di barisan bangku hijau disana.
Aku, Marina. Gadis berusia 27 tahun dengan lesung pipit di pipi
sebelah kanan. Memiliki tinggi 160 cm, kulit sawo matang, hidung tidak
terlalu mancung dan rambut coklat. Dandanan? Celana panjang warna hitam
dan atasan bermotif bunga yang dilapisi dengan cardigan berwarna hijau.
Profesi? Seorang penulis cerpen sejak 6 tahun yang lalu. Dan mulai
tertarik menggeluti dunia imajinasi ini ketika aku masih, sedang dan
terus-menerus mencari arti cantik yang sesungguhnya. Ya.. Cantik.
Susunan 6 huruf yang dapat membuat geger dunia dan seisinya. Susunan 6
huruf yang selalu diharapkan wanita ada pada dirinya. Susunan 6 huruf
yang mampu membuat lelaki sekelas Pangeran William dan Julius Caesar
bertekuk lutut. Sungguh menarik bukan susunan 6 huruf ini.
“Hey, ngapain kamu tadi malah berdiri mematung di depan poster Sheila
On 7 itu? Kamu naksir sama Duta ya? Dia itu sudah punya istri dan anak,
neng”, ujar manajerku sambil tertawa cekikikan. Keningku langsung
mengkerut dan alis sebelah kiriku langsung bergerak ke atas.
“Wah tapi wajahnya kayak masih muda dan ganteng ya”, jawabku menimpali ledekannya. Dan kami berdua pun tertawa lepas di depan poster itu.
Tentu saja wajah Duta Sheila On 7 kelihatan masih muda, karena poster yang ditempel itu adalah poster jaman tahun 2000. Jaman dimana band asal inggris, Westlife sangat dipuja-puja oleh kalangan remaja. Band Wayang dengan drummernya yang masih anak-anak dan vokalisnya yang berambut panjang seperti wanita tidak kalah populernya. Tentu saja band Sheila On 7 dengan lagunya “Sahabat Sejati” tidak kalah menggebrakkan dunia permusikan di Indonesia sehingga mampu menghipnotis dan mencuri hati remaja Indonesia. Sebagai bentuk kami mengidolakan mereka biasanya kami menempelkan poster-poster mereka di dinding atau pintu kamar. Dan poster di depanku ini sama persis dengan poster yang dulu aku tempelkan di dinding kamarku, membuat otakku memutar kembali sejuta kenangan di masa itu.
Di kamar itu aku ditemani oleh perempuan yang mendadak harus menjadi
bagian dari keluargaku karena ayahnya menikah dengan ibuku. Dalam kamus
bahasa Indonesia hubungan seperti ini disebut saudara tiri. Dia Rosa,
usianya sama denganku memiliki bentuk wajah oval, hidung mancung, kulit
cerah, tinggi sekitar 165 cm dan rambut sedikit ikal. Orang bilang
senyum Rosa memiliki medan magnet yang mampu membuat pria memalingkan
muka untuk melihatnya dan membuat mereka tertarik untuk mengenalnya.
Para pria mengatakan, mendefinisikan, mengartikan dan menerjemahkan
wanita seperti kakak tiriku ini sebagai kategori wanita cantik. Ya…
Cantik.
Rosa sudah sekamar denganku 2 tahun belakangan ini. Tapi jika ditanya
bagaimana hubunganku dengannya? Kisah bawang merah dan bawang putih
bisa menjadi jawabannya. Mungkin karena di masa itu kami masih remaja
belia yang sedang mencari jati diri dan kekanak-kanakan. Sebenarnya
masalahnya cukup sederhana, aku hanya merasa dia lebih cantik dariku
sehingga orang-orang lebih memperhatikannya, lebih menyukainya dan lebih
menyayanginya. Bisa dikatakan aku mengidap sejenis penyakit iri.
Awalnya meskipun iri aku tidak membenci dia dan tidak menjauhinya.
Meskipun aku sudah sangat sering mendengar perkataan “Kamu adiknya Rosa?
Kok tidak secantik dia?” atau “Oh, kalian berdua bukan saudara kandung?
Pantas wajahnya beda banget” atau yang lebih parah “Eh, kamu adiknya
Rosa? Comblangin aku dengan kakakmu dong, nanti aku traktir deh”. Mereka
selalu saja membanding-bandingkan aku dengan Rosa dan menjadikan aku
teman mereka hanya karena ingin mendekati Rosa. Apa mereka pikir aku ini
batu yang tidak punya hati dan tidak bisa merasakan sakit hati.
Malam itu, aku mendengar desas-desus bahwa Rosa berpacaran dengan
Diko tetangga sebelah rumahku, teman masa kecilku dan bisa dibilang
cinta pertamaku. Tentu saja aku tidak percaya dengan berita ini karena
aku kenal sekali dengan Diko. Dia adalah seorang pria pendiam dengan
cara berpikir yang lebih dewasa dibanding pria seumurannya. Dia hobi
sekali menggambar komik dan bercita-cita suatu saat nanti ingin menjadi
komikus kelas dunia. Diko sering menasehatiku untuk selalu berjuang
keras mewujudkan mimpi dan melakukan apa yang benar-benar kita inginkan.
Di usia remaja itu tentu saja aku merasa dia adalah lelaki yang special
dan diam-diam aku telah menaruh hati padanya. Karena aku tidak ingin
berita ini menyebar sehingga dia akan menjadi bahan gossip di sekolah
maka malam itu juga aku putuskan untuk bertanya langsung padanya.
“Diko, aku dengar kamu sedang pacaran dengan Rosa ya, ciee…”, kataku meledaknya.
“Kamu tahu darimana?”, jawabnya setengah kaget bercampur bingung.
“Jadi benar kamu pacaran sama Rosa?”, tanyaku lagi
“Iya rin, Rosa terlalu cantik sih habisnya. Eh, tapi ini rahasia ya”, jawabnya sambil tersenyum bahagia.
Aku mengangguk sambil menahan buliran air mata yang sudah tidak mampu aku tahan lagi untuk keluar, bergegas pergi dan merasa langit di sekitaku mendadak menjadi gelap, halilintar bergemuruh, hujan deras seakan turun bersama dengan air mataku yang mengalir deras. Aku berjalan di bawah hujan dengan perasaan yang sangat terluka dan kecewa. Dalam hati aku menjerit dan berkata “Tuhan, kenapa Engkau ciptakan manusia cantik dan jelek di dunia ini? Orang-orang alim berkata bahwa cantik atau jelek itu adalah cobaan. Jika memang benar maka beruntunglah orang yang mendapat cobaan cantik. Mereka hanya merasakan cobaan pujian, sanjungan, kekaguman dan semua kebahagiaan itu. Tuhan, jika memang takdirmu itu adil maka biarkanlah semua wanita di dunia ini bisa merubah dirinya menjadi cantik”. Aku menatap langit dengan mata yang tidak bisa berhenti mengeluarkan air mata, meyakinkan hati bahwa Tuhan itu Maha Adil dan menunggu keajaiban itu datang.
11 Februari 2001. Semua siswa bediri di lapangan upacara untuk
mendengar pidato dari ketua Osis yang membuka acara Masa Orientasi
Siswa. Hari ini aku sudah memasuki bangku Sekolah Menengah Atas. Kalian
tahu, aku berhasil masuk SMA di kota sesuai dengan yang aku rencanakan 1
tahun lalu. Jauh dari rumah dengan lingkungan baru, teman-teman baru,
suasana baru dan tentu aku berharap mereka tidak mengenal siapa itu
Rosa. Karena salah satu tujuanku datang kesini adalah agar aku terlepas
dari belenggu kecantikan Rosa yang menjadi kutukan bagiku.
Ternyata di sekolah baru, harapanku untuk menjauhkan kutukan itu
gagal total dan hancur lebur. Aku malah ditakdirkan duduk sebangku
dengan Lisa, siswi baru yang sepertinya merebut banyak perhatian lelaki
di sekolah. Gadis dengan kerudung putih dan terlihat sangat anggun,
hidungnya tidak terlalu mancung, sorot matanya tajam, alisnya tebal, dan
kulit mukanya kuning langsat. Lagi-lagi para lelaki mendefinisikan
gadis seperti ini dengan istilah cantik. Oh Tuhan sebenarnya apa maksud
dari semua ini, aku merasa hanya berlari dari satu masalah ke masalah
yang lain. Masalah yang selalu membuatku teraniaya karena berada di
dekat wanita-wanita cantik ini.
Kali ini sikapku biasa saja pada gadis cantik bernama Lisa ini,
sepertinya aku sudah mengalami kelelahan untuk terus menghindar. Karena
kemanapun aku menghindar pasti akan menemukan gadis seperti ini lagi.
Gadis yang aku pikir seumur hidupku pun tidak akan bisa mengalahkan
kecantikannya. Kecuali jika aku pergi ke planet kerajaan lelaki yang
sama sekali tidak ada perempuannya kecuali aku seorang. Mungkin
kelihatannya menarik atau malah sangat membosankan, karena ibarat
perlombaan pacuan kuda hanya aku seorang pesertanya.
Beberapa lama aku mengenal Lisa, aku mulai tahu bahwa dia bukan gadis
dari latar belakang ekonomi yang terbilang cukup. Lisa anak pertama
dari 4 bersaudara yang kesemua adiknya perempuan. Ayahnya sakit keras
selama 5 tahun dan ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Setiap hari ia membawa kue basah untuk dititipkan di kantin sekolah, dan
kadang aku juga melihatnya begitu semangat menulis untuk dikirim ke
majalah-majalah dengan tujuan untuk mendapatkan hadiah uang. Belum lagi
kegemarannya membaca dan mengumpulkan buku dari uang jajannya yang
sangat terbatas. Aku mulai mengerti dia bukanlah gadis manja yang hanya
bisa bersolek, senyum sana-sini untuk menarik perhatian atau bicara
menggunakan logat sedikit manja dan halus agar lelaki senang
mendengarnya.
Lisa mengenalkan padaku dunia kutu buku, mengajariku cara agar
membaca buku tidak membosankan dengan menggaris bawahi, memberikan
komentar dan memberikan pertanyaan setiap ada kalimat yang mengundang
reaksi. Ternyata, trik-trik ini ia dapatkan dari cara Ir. Soekarno
membaca buku. Jenis buku yang paling dia sarankan untuk aku baca adalah
pengembangan diri dan agama. Dia berkata dengan membaca buku kita akan
memahami banyak hal yang kadang tidak terpikir secara logika. Seperti
bagaimana cara kita bergaul dengan tata karma yang baik, menjaga diri
dan kehormatan, menghargai orang lain dengan tidak menggoyahkan prinsip
hidup kita.
Tapi aku masih bertanya-tanya, apa yang membuat gadis ini memancarkan aura cantik yang begitu kuat? Ah dandanannya simple saja, make-up tipis hampir alami, bajupun bukan barang bermerek apalagi rancangan desainer ternama, itu sangat tidak mungkin dengan kondisi ekonominya saat ini. Hanya dia selalu mencocokkan antara baju dan kerudung dengan warna kulitnya sehingga terlihat pas dan anggun.
Aneh sungguh aneh, perempuan dengan penampilan sederhana seperti ini bisa memancarkan aura cantik seperti lilin yang menerangi gua ketika cahaya bulan redup. Senyumnya, tingkah lakunya, sikapnya, caranya menghargai orang lain begitu apa adanya, alami dan tidak dibuat-buat. Ketika dia marah pun akan menyampaikan kemarahannya dengan cara yang orang lain tidak merasa sakit hati. Sungguh ditengah-tengah era modern yang setiap gadis mengutamakan penampilan, warna rambut yang hampir dari semua warna crayon ada, baju kekecilan yang masih saja dipakai sehingga terlihat begitu aneh, bedak yang tebalnya hampir seperti tepung, aksesoris warna-warni dan bling-bling seperti lampu disko. Tapi Lisa, begitu sederhana dengan kecantikan hatinya yang sampai memancar ke wajahnya.
21 Juni 2005. Akhirnya pada tanggal itu aku harus berpisah dengan
Lisa. Karena dia melanjutkan studi di kota yang berbeda denganku. Karena
jaman itu alat komunikasi yang bernama handphone masih mahal, aku dan
dia sudah jarang berkomunikasi lagi setelah kami sama-sama memasuki
jenjang Universitas. Selamat berpisah kawan, 3 tahun menjadi temanmu
membuatku mengerti cantik yang sebenarnya. Cantik yang tidak perlu
direpotkan dengan jerawat di wajah, kulit harus putih, tubuh harus
tinggi, berat badan ideal dan segala macam hal yang tampak dan hanya
bisa dilihat oleh mata. 3 tahun membuatku mengerti bahwa biarlah hati
yang cantik yang akan memancarkan kecantikan itu sampai ke wajah. Karena
hakikat kecantikan sejati adalah sesuatu yang akan selalu bersinar
meski terkena cahaya matahari, meski tergores debu, meski tertiup angin,
meski tergerus jaman, meski terbawa umur. Dan hanya hati yang cantik
yang bisa menerima dan memahami semua itu.
Hari ini, 11 April 2012. Aku mencoba kembali mengenang dan mengingat
persahabatanku dengan Lisa yang membuatku sampai berada di titik ini.
Terus belajar memahami dan memaknai hakikat kecantikan sejati.
“Nona marina, anda terkenal sebagai seorang penulis yang cantik dan berbakat di Indonesia. Dan terkenal selalu menolak sponsor make-up untuk menjadikan anda sebagai bintang iklannya. Apa benar begitu nona Marina?”, pertanyaan yang terlontar dari salah satu seorang reporter.
“Mungkin pertanyaan itu benar, karena saya hanya tidak ingin menjanjikan kecantikan yang tidak mungkin mereka dapatkan karena sudah menjadi korban iklan. Karena tempatnya cantik bukan hanya disini (menunjuk wajah) tapi sumbernya ada disini (menunjuk hati)”, jawabku sambil tersenyum.
SEKIAN
Sumber: www.nomor1.com