Kebahagiaan itu kadang egois, mungkin kita tak akan peduli dengan
siapapun yang akan terluka. Yang penting itu kita bahagia dan merasa
puas. Tidakkah kita berpikir ada orang lain yang juga ingin bahagia,
mengapa harus mereka yang akan jadi korban dalam kebahagiaan kita?
Mengapa harus mereka yang terluka?
Mungkin itulah yang aku rasakan. Aku merasa sedih sekali, ketika harus menerima kenyataan bahwa keluargaku yang tidak utuh. Mungkin inilah takdir Tuhan! Tetapi, aku tau Tuhan tidak sejahat itu. Tuhan tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Tidak ada sedikitpun orang yang tahu, kalau ada 1000 duka yang aku
simpan di hari ulang-tahunku ini. Entah apa yang aku pikirkan? Mungkin
aku hanya perlu waktu, menceritakan masalahku kepada seseorang yang aku
percaya. Aku tidak mau siapapun yang tau tentang keadaanku ini. Aku
pikir, apa mereka akan perduli?
Sebelum berangkat sekolah, aku mencium tangan mama untuk pamit pergi
ke sekolah dan disaat itu juga mama mencium keningku serta mengucapkan
“Selamat Ulang-Tahun Sayang”.
Tepat jam 07.10 pagi, aku tiba di sekolah. Dengan wajah kupaksakan
untuk tersenyum, aku berjalan menelusuri lorong kelas, melewati
kakak-kakak kelas dan teman-teman yang lain, yang sedang bercanda ria
dan ada juga yang sedang asik membaca buku.
Sesampainya di depan kelasku, aku melihat teman-teman sedang belajar
karena hari ini ada ulangan harian. Tiba-tiba, ketika mereka melihat
kehadiranku. Mereka langsung mendatangiku, teriak-teriak histeris,
memelukku, dan mengucapkan “Selamat ulang-tahun Fiona”. Satu persatu aku
menerima jabatan tangan dan ucapan serta doa mereka. Terima kasih
teman?
Aku terharu, dengan keperdulian mereka. Aku senang bisa berteman dengan mereka.
Aku berharap di hari ini, aku hanya akan merasakan kebahagiaan dan
tidak mau ada kesedihan. Ternyata, semakin aku pikirkan kesedihanku
semakin membuatku meneteskan airmata. Hangatnya airmataku yang mengalir
di pipiku semakin menjadi, karena aku teringat masa-laluku yang indah.
Di hari ulang-tahunku ini, aku ingin keluargaku berkumpul dan
mengucapkan selamat ulang-tahun kepadaku, seperti tahun kemarin. Namun,
sepertinya tidak sesuai dengan harapanku karena saat ini semuanya sudah
berubah.
Aku rindu, aku rindu keluargaku yang dulu. Aku rindu, ketika aku berumur 3 tahun, ayah dan ibu membelikanku kue ulang-tahun yang sangat enak dan kami merayakannya berempat bersama kakakku.
Teman-temanku, sahabatku, guru-guru, orang-orang tersayang, keluarga,
dan ibuku mengucapkan dan menyertakan doa untukku agar selalu menjadi
yang terbaik dan memberikan harapan yang terbaik. Aku senang mereka
mengingat hari lahirku. Tetapi, sekejap aku ingat seseorang, aku merasa
ada yang kurang.
Kalian tahu itu apa?
Aku merasa ada yang kurang, karena ayahku belum mengucapkannya. Aku menunggu dan terus menunggu. Aku sedih, apa dia lupa? Apa dia tidak tau hari ini adalah hari ulang-tahunku?
Bisakah kalian merasakan? Sedih yang aku rasakan. Jauh dari ayah
karena perpisahan orangtua yang menyebabkan anak jauh dari salah
satunya. Tidak bisa merasakan kasih-sayang yang sempurna dari keduanya.
Sanggupkah kalian jika harus melupakan masa lalu yang indah dan masa
kecil yang bahagia itu?
Terkadang, aku merasa tidak cukup kuat menghadapi kenyataan ini,
masalah-masalah yang terus datang silih-berganti, dan belum lagi harus
bisa konsentrasi saat belajar di sekolah.
Setelah menunggu lama, akhirnya Ayahku juga ingat dengan hari
lahirku. Aku menangis, karena sebenarnya masih ada keperdulian dari
Ayah. Meskipun, pada malam harinya Ayah baru mengucapkannya. Aku terharu
mendengar kata-kata Ayah agar aku bisa menjadi lebih dewasa dalam
berpikir dan bertindak, tetap mempertahankan prestasiku dan selalu
menjaga kesehatan. Terima-kasih Ayah! Aku menyayangimu.
Selama aku berumur 15 tahun, beribu-beribu cobaan yang aku terima.
Aku sempat jatuh dan terpuruk dalam penderitaan itu. Namun, aku tetap
berjuang dan tidak pernah putus asa. Aku tahu, mungkin aku cukup kuat
menjalani ini semua. Aku mencoba menutupi masalah hidupku agar
prestasiku tidak menurun. Dan aku mencoba menganggap semuanya baik-baik
saja. Pedih yang kurasakan menjalani semua sandiwara ini.
Tepatnya hari ini, umurku sudah bertambah satu tahun. Semoga aku bisa
lebih dewasa dan aku harus bisa mencoba menerima semua kenyataan ini.
Tidak pernah putus asa dan terus semangat. Karena semua yang berlalu,
belum tentu bisa kembali.
Perlunya Motivasi dan spirit untuk menyemangati anak seperti kami
agar tidak jatuh, sangat diperlukan dengan mengkondisikan keadaan
seperti saat semua baik-baik saja.
Dengarlah jeritan kami! Mungkin tanpa orangtua sadari, KAMI!
Anak-anakmu menanggung “Beban Psikis” yang luar biasa kuat. Kehilangan
kasih sayang, kehilangan penopang, kehilangan tempat “bernaung” dan
paling fatal adalah kehilangan “jiwa dan diri sendiri”.
“.. Kami anak-anakmu, perhatikan kami, kami tak cukup kuat untuk semua ini. Kami anak-anakmu dan tolonglah kami. Yang kami ingin hanya, semuanya KEMBALI ..”
Teman, ingatlah! keterpurukan terus menerus akan membuat kita jatuh,
maka bangkitlah!! Kita tidak sendiri, yakinlah Tuhan selalu ada untuk
kita. Berbahagialah! Kamu termasuk orang yang beruntung bisa menjalani
hidup dengan keluarga yang utuh. Manfaatkanlah hidupmu dengan
sebaik-baiknya. Kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya.
Mungkin, seringkali ketika kita hilang harapan dan berpikir “Ini
adalah Akhir dari segalanya”, Tuhan tersenyum dari atas dan berkata
“Tenang sayang, itu hanyalah belokan bukan akhir!”. Semua akan indah
pada waktunya, Percayalah!
*Dengan membangun mental bahwa realitanya kita masih hidup dan HARUS
hidup akan membantu kita untuk bangkit, Sabar dan bahagiakanlah dirimu,
kawan!*
Sumber: www.nomor1.com