Pembaca, dalam artikel sebelumnya saya pernah mengulas mengenai Past
Life Regression (PLR) atau Regresi Kehidupan Lampau. Saya kembali
menulis mengenai PLR karena baru-baru ini saya mendapat telepon dari
seorang kawan yang tinggal di ujung timur Indonesia, Papua. Kawan ini,
sebut saja, Rini, bercerita bahwa ia baru menjalani terapi dengan
seorang hipnoterapis terkenal di Jakarta dan telah mengalami PLR.
Sampai di sini saya masih tetap asyik mendengarkan kisahnya. Namun,
yang membuat saya terhenyak adalah saat ia berkata, “Pak, sekarang saya
tahu dulunya saya ini siapa. Waktu saya diregresi ke kehidupan lampau
ternyata saya adalah Nyi Roro Kidul, penguasa pantai laut selatan.”
Wah… saya kaget sekali. Ditambah lagi ia berkata bahwa ia sekarang juga tahu siap soulmate-nya. Ternyata soulmate-nya
adalah seorang pria, profesinya sebagai guru, yang berusia jauh lebih
tua darinya. Dan guru ini sudah menikah. Hati Rini hancur sekali karena
tidak bisa merajut kembali hubungan kasih mereka di kehidupan ini. Saat
menelepon saya Rini juga melaporkan bahwa kondisi emosinya labil sejak
menjalani terapi di Jakarta.
Mengapa saya kaget mendengar cerita Rini?
Karena kisah Rini mengingatkan saya akan kisah seorang kawan yang
juga mengalami hal “luar biasa” setelah mengalami PLR. Kawan ini,
menurut hasil PLR, dulunya ternyata adalah orang-orang besar. Ia pernah
hidup sebagai “Yesus”, “Buddha”, dan “Nabi Muhammad S.A.W”. Kawan saya
sempat mengalami goncangan mental yang cukup parah. Untung akhirnya ia
bisa stabil dan normal kembali.
Kisah lainnya adalah kawan saya di Makassar yang mengalami PLR dan ternyata dulunya ia adalah “Ganesha”.
Ada lagi kawan yang bercerita bahwa ia pernah ikut seminar PLR dan
saat si pembicara melakukan PLR kepada para peserta, hampir semua tidak
bisa mengalami PLR. Selanjutnya si pembicara dengan hakul yakin, mantap,
dan dengan lantang berkata, “Anda yang tidak mengalami PLR adalah
orang-orang yang tidak punya past life. Anda adalah keturunan
makhluk UFO yang datang ke dunia ini dengan mengemban misi khusus.” Ck..
ck…ck… betapa ngawur dan berbahaya kondisi ini.
Nah, kembali ke Rini. Saat saya menggali lebih jauh dari mana Rini
tahu mengenai <>soulmate, Rini menjawab bahwa ia baru saja selesai
membaca buku mengenai PLR dan di dalamnya ada cerita tentang soulmate. Anda bisa melihat benang merah pengalaman Rini?
Pembaca yang budiman, maksud saya menulis artikel ini adalah untuk
memberikan beberapa informasi penting mengenai PLR yang saya peroleh
melalui pembelajaran dan pengalaman saya. Saya pun dulunya pernah
melakukan beberapa kesalahan yang cukup serius. Kesalahan ini harus saya
“bayar” dengan harga yang sangat mahal. Saya tidak dalam posisi atau
kapasitas mengatakan bahwa past life itu ada atau tidak. Semua berpulang pada kepercayaan masing-masing.
“Apakah past life itu ada atau tidak?”
Saya tidak akan menjawab pertanyaan ini, sebab jawaban apa pun yang saya berikan semua bersumber pada belief system saya. Dan, belief system adalah sesuatu yang sangat personal dan subjektif.
“Apakah teknik Past Life Regression ada atau tidak?”
Kalau ini dengan tegas, yakin, dan mantap saya akan menjawab, “Ada.”
Jadi perlu dibedakan antara; “Apakah past life itu ada atau tidak?” dan “Apakah teknik Past Life Regression ada atau tidak?”.
“Lho, kalau past life itu nggak ada lalu ngapain repot-repot sampai ada teknik Past Life Regression/Therapy?”
Begini ya. Terlepas apakah past life itu ada atau tidak,
suka atau tidak, percaya atau tidak, secara statistik, didapatkan data
bahwa saat melakukan terapi, khususnya saat menggunakan teknik regresi
untuk mencari akar masalah yang dialami seorang klien, sekitar 10-20
persen akan terjadi PLR spontan.
Nah, saat terjadi PLR spontan hipnoterapis harus tahu cara atau
teknik untuk membantu klien mengatasi masalahnya. Bagi yang percaya
dengan past life, it’s ok. Bagi yang tidak percaya maka apa
yang dialami klien adalah metafora yang dimunculkan oleh pikiran bawah
sadar klien untuk membantu klien menyelesaikan suatu masalah. Yang
penting klien sembuh. Titik. Terapis menggunakan apa pun (baca: belief) yang dibawa oleh klien. Ini namanya teknik utilisasi.
So, secara teknis terapi, PLR hanyalah salah satu teknik dari sekian banyak teknik terapi yang harus tersedia di tool box seorang hipnoterapis profesional. Isi tool box plus jam terbang dan kualitas training yang pernah diikuti akan membedakan seorang hipnoterapis biasa-biasa dan yang andal.
Walaupun PLR cukup bermanfaat namun ada bahayanya. Apa itu?
Untuk bisa melakukan PLR dibutuhkan beberapa persyaratan dan
kecakapan teknis. Pertama, terapis harus cakap, menguasai, dan mahir
melakukan teknik regresi (regression). Secara teknis ada delapan jenis regresi. Salah satunya adalah age regression atau regresi usia di kehidupan saat ini. Salah satu syarat mutlak untuk bisa melakukan age regression yaitu terapis harus mampu membantu subjek masuk ke kedalaman trance yang sesuai untuk teknik age regression, yaitu level full somnambulism. Akan lebih baik lagi jika mencapai level profound somnambulism. Mengapa perlu mencapai kedalaman ini?
Jawabannya sederhana saja. Pada level kedalaman ini critical factor dari pikiran sadar (conscious mind) telah benar-benar off sehingga tidak akan mengganggu proses PLR.
Bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang telah berhasil mencapai level kedalaman somnambulism? Tentu ada caranya. Saya tidak bisa menjelaskan di artikel ini karena akan terlalu panjang dan teknis.
Dari beberapa kasus yang pernah saya dengar kebanyakan subjek belum masuk ke level somnambulism saat PLR dilakukan.
Dari mana saya tahu?
Mudah kok. Pertama saya bertanya apakah dilakukan uji kedalaman level hipnosis atau depth level test? Ternyata tidak. Kedua, dari teknik induksi yang digunakan, yaitu progressive relaxation, saya tahu bahwa klien masih dalam kondisi light trance atau maksimal berada di medium trance. Banyak hipnoterapis yang berasumsi bahwa saat klien terlihat telah rileks, tubuhnya, setelah diinduksi dengan progressive relaxation, maka hal ini berarti klien telah mencapai level somnambulism.
Ini adalah asumsi yang salah dan bisa berakibat sangat fatal. Mengapa?
Karena kondisi tubuh yang rileks tidak sama dengan kondisi hipnosis.
Kondisi hipnosis adalah kondisi mental yang rileks, bukan fisik yang
rileks. Saat subjek atau klien belum mencapai level somnambulism maka saat itu pikiran sadarnya (critical factor) masih (cukup) aktif.
Bahaya PLR muncul karena dua hal. Pertama, saat pikiran sadar klien
masih aktif, maka saat dilakukan PLR, yang muncul di pikirannya adalah
apa yang diharapkan oleh klien. Bisa jadi berupa imajinasi, atau kisah
atau cerita yang sangat berkesan bagi klien. Jadi, dalam hal ini pikiran
sadar yang bermain.
Kedua, PLR akan berbahaya dan merugikan klien bila saat melakukan PLR hipnoterapis melakukan leading, bukan guiding. Leading maksudnya
hipnoterapis mengarahkan pikiran klien dengan skenario atau alur cerita
yang ada di benak si hipnoterapis atau seperti yang diinginkan klien.
Sedangkan guiding artinya pertanyaan yang diajukan oleh hipnoterapis bersifat netral, tidak mengarah pada satu skenario tertentu.
Leading atau guiding semua bergantung pada semantik
atau kata-kata yang digunakan hipnoterapis saat membawa klien atau
subjek hipnosis mundur ke suatu masa baik di kehidupan saat ini maupun
di kehidupan lampau klien.
Leading menjadi sesuatu yang sangat berbahaya dan merugikan klien karena saat dalam kondisi trance, apalagi bila deep trance atau somnambulism, apa pun yang muncul dalam pikiran klien secara otomatis menjadi false memory yang diterima klien sebagai suatu kebenaran.
False memory juga bisa terjadi saat seorang klien datang ke
seorang hipnoterapis dan minta dilakukan PLR. Artinya PLR yang dilakukan
bukan terjadi secara spontan saat mencari akar masalah tapi dilakukan by order.
Saya sangat menghindari jenis PLR by order. Ada banyak yang
meminta saya melakukan PLR namun saya tolak walaupun mereka bersedia
memberikan imbalan materi yang cukup besar jumlahnya.
Mengapa saya menolak? Ya itu tadi. Bisa terjadi false memory.
Lho, kok bisa terjadi false memory?
Soalnya, saat klien bersiap-siap mau PLR, saat itu klien masuk dalam kondisi anticipatory mode. Klien mengharapkan regresi ini. Dengan sangat berharap atau ingin diregresi maka critical factor akan tetap aktif. Kondisi pikiran ini sungguh tidak kondusif untuk PLR karena klien pasti sangat sulit masuk kondisi somnambulism.
Nah, saat belum di somnambulism dan klien mengalami PLR maka
yang muncul adalah apa yang ada di pikiran sadar klien. Ini jelas bukan
PLR (Past Life Regression) tapi PLR dengan kepanjangan Pasti Langsung Rancu.
Seorang kawan juga pernah menanyakan pendapat saya mengenai seminar
PLR. Menurut hemat saya sangat sulit melakukan PLR secara masal, dalam
bentuk seminar. Alasannya, syarat awal subjek mencapai level kedalaman somnambulism saja sudah sangat sulit terpenuhi karena umumnya teknik induksi yang digunakan adalah progressive relaxation, yang nota bene adalah teknik induksi yang paling tidak efektif, kecuali jika dilakukan beberapa modifikasi semantik.
Apakah sulit untuk membawa klien masuk kondisi somnambulism? Tidak. Sangat mudah asal tahu tekniknya. Dari berbagai resource yang saya pelajari, baik itu berupa buku, jurnal, maupun kaset atau DVD pelatihan hipnoterapi, ternyata untuk membawa klien ke kondisi somnambulism tidak perlu mempelajari berbagai teknik induksi. Cukup menguasai dengan baik dua teknik saja. Dua teknik ini sangat dahsyat, telah teruji, dan terbukti tidak pernah gagal membawa subjek tipe apapun untuk masuk ke kondisi somnambulism.
Selain teknik yang kurang pas, subjek juga akan sangat sulit masuk ke kondisi somnambulism bila ada perasaan takut terhadap hipnosis.Level kedalaman trance
berbanding terbalik dengan intensitas rasa takut. Jadi adalah sangat
penting untuk bisa mengatasi rasa takut pada diri subjek hipnosis
sebelum dilakukan induksi. Problem lainnya adalah belum tentu pikiran
bawah sadar klien bersedia dan mengizinkan si klien untuk dihipnosis,
apalagi sampai mengalami PLR.
Mengapa saya berkata begini? Karena saya pernah mengalami hal ini.
Saat membantu seorang klien menemukan akar masalahnya, ternyata regresi
membawa klien ini sampai ke masa ia masih di dalam kandungan ibunya.
Namun sumber masalah sepertinya bukan terletak pada masa ini. Saya
melanjutkan regresi. Besar kemungkinan akar masalah terletak di
kehidupan lampaunya. Hasilnya? Tidak bisa. Apa pun yang saya lakukan
untuk membawa klien ini mundur tidak membuahkan hasil. Ternyata belief system klien tidak mengijinkan PLR karena menurut doktrin agamanya tidak ada past life. Pikiran sadar klien bersedia mengalami PLR namun pikiran bawah sadar menolak. Padahal klien sudah berada dalam kondisi profound somnambulism.
Pengalaman saya pribadi menunjukkan PLR paling ideal jika dilakukan one-on-one. Dalam setting ini si hipnoterapis dapat melakukan depth level test dan deepening untuk membantu klien mencapai kedalaman yang diinginkan. Jika dilakukan secara massal, rame-rame dalam suatu seminar, maka tidak mungkin bagi operator untuk memeriksa level kedalaman setiap peserta seminar.
Dengan pencapaian level kedalaman trance yang sangat
beragam, dengan kondisi pikiran sadar masih aktif, dengan pengharapan
yang sangat besar untuk bisa mengalami PLR, dengan perasaan antisipasi
dan tidak mau rugi karena telah mengeluarkan uang untuk mengikuti
seminar, maka saat operator melakukan regresi terhadap peserta seminar
maka yang terjadi adalah rame-rame nggak bisa atau rame-rame mengalami false memory.
PLR adalah salah satu teknik terapi yang sangat ampuh untuk membantu
klien sembuh dari masalah yang akar masalahya ada di “kehidupan lampau”.
Namun PLR akan sangat merugikan klien bila dilakukan dengan cara yang
salah.
PLR yang sering saya alami saat membantu klien adalah PLR yang
bersifat spontan. Jadi, tanpa direncanakan, saat mencari sumber atau
akar masalah, klien mundur ke suatu masa yang tidak ia kenal, suatu masa
yang disebut sebagai past life. Benar atau tidak klien mundur sampai ke past life? Saya tidak memusingkan hal ini. Yang penting klien sembuh.
Kasus terakhir, yang berhubungan dengan past life, yang saya
tangani adalah kasus di mana seorang klien wanita usia 30 tahun yang
mengalami sesak napas luar biasa, ditambah dengan ketakutan yang hebat,
saat ia mau masuk ke dalam tabung MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk
di-scan.
Saat saya membantu klien menemukan akar masalahnya, secara tiba-tiba
klien mundur ke tahun 1902 saat ia di Sydney, Australia. Saat itu ia
berusia 4 tahun dan terjebak di dalam tambang. Dengan teknik Past Life
Therapy klien saya ini berhasil dibantu untuk sembuh.
Bagi Anda, pembaca yang percaya bahwa past life itu ada,
sebenarnya tidak penting untuk mencari tahu siapakah kita di kehidupan
lampau kita. Kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Yang
paling penting adalah kita hidup di saat ini. Kita fokus pada kehidupan
saat ini, merancang dan menjalankan kehidupan dengan pandangan yang
benar, pikiran yang benar, ucapan dan tindakan yang benar agar kita bisa
bahagia dan sukses.
Dengan kata lain kalau sudah tahu siapa diri kita di kehidupan lampau… terus… mau apa? So what gitu, lho? Apakah kita akan menjadi orang yang lebih baik secara mental, emosi, dan spiritual?
* Adi W. Gunawan
Sumber : www.nomor1.com