Di antara ribuan klien yang dilayani IISA Assessment Centre, terdapat
sekitar lima puluhan klien yang berasal dari kalangan family business.
Sebagian besar klien dari kluster ini memiiki persoalan yang hampir
seragam: bagaimana membuat keputusan “suksesi kepemimpinan” perusahaan,
yakni keputusan berkenaan dengan siapa yang kelak bakal menjadi penerus
estafet kepemimpinan bisnis keluarga.
Dua pihak yang terlibat dalam proses
suksesi ialah pertama, the founder (pendiri, ayah atau ibu) dan kedua,
the successor (penerus, anak). The founder umumnya mempersepsikan atau
mengenali kandidat successsor sebagai pribadi yang kompeten pada bidang
keahlian sebagaimana sudah dipersiapkan lewat bidang studi atau
pelatihan, sehingga tak ada alasan yang memberatkan untuk tidak memasang
sang kandidat pada posisi direksi. Sebaliknya, para founder ini umumnya
mengeluhkan buruknya kinerja para kandidat yang diungkapkan dengan
sebutan “malas dan lembek”.
Kemalasan dan kelembekan ini dijabarkan
sebagai kecenderungan menunda, pembawaan yang moody, ketakutan mengambil
risiko, pembiaran diri berada dalam konflik kepentingan, kekakuan cara
penyelesaian, kelemahan manajemen waktu, ketaklengkapan informasi
lapangan, rendahnya daya determinasi diri, ketakutan dipersalahkan, dan
ketidakseriusan mengurus hal yang belum familiar.
Hasil asesmen secara umum terhadap klaim
“kompeten tapi malas dan lembek” menunjukkan bahwa para kandidat
umumnya berada pada tingkatan memadai hingga tinggi pada kecerdasan
Logika Matematika, Logika Bahasa, Spasial, Musik, Interpersonal, dan
Naturalistik; lemah pada kecerdasan Kinestetik dan Eksistensial; namun
umumnya paling lemah dalam kecerdasan Intrapersonal. Kisah nyata para
tokoh berikut (bukan nama sebenarnya) menggambarkan permasalahan yang
saya angkat.
Kendal(a) Di Dalam Diri
Pak Wardana, seorang pengusaha mebel sukses di kawasan Pasar Mebel
Bukir, Pasuruan, Jawa Timur; mempunyai seorang anak tunggal bernama
Benny Wirawan. Bagi Pak Wardana, Binar, begitu nama panggilan akrab
Benny Wirawan, adalah sosok anak yang sangat menyenangkan dalam
pergaulan dan pandai mengambil hati, meski sering membuat kesal karena
sifat malasnya yang luar biasa. Obsesinya, bagaimana agar Binar kelak
menjadi pekerja keras dan bertanggung jawab. Pertama-tama, Pak Wardana
menginginkan Binar menyadari betapa tinggi nilai kerja.
Suatu hari pada pukul 2 siang, Pak
Wardana memanggil anaknya dan berkata: “Binar, hari ini, Ayah ingin kau
pergi keluar, terserah kau mau mengerjakan apa; yang penting kau harus
membawa pulang sesuatu senilai dua puluh lima ribu rupiah. Jika kau
gagal, kau tak boleh menikmati makan malam untuk hari ini.”
Binar tampak kebingungan dan kehilangan
akal karena selama ini tak pernah mengerjakan satu pun jenis pekerjaan
sebelumnya, apalagi yang menghasilkan upah senilai dua puluh lima ribu
rupiah dalam beberapa jam. Karena ketakutan terhadap tuntutan ayahnya,
ia menghampiri ibunya dengan isak tangisnya sambil menceritakan tugas
yang dibebankan ayahnya. Ibunya tak tega dan luluh hati begitu melihat
deras air mata membasahi kedua pipi anak semata wayangnya. Sejenak Bu
Wardana kebingungan, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia
menawarkan bantuan dengan memberinya emas batangan berbobot 25 gram.
Pada malam hari, ketika Pak Wardana
menanyakan kepada Binar apa saja yang telah ia peroleh, Binar segera
secara sopan mengeluarkan batangan emas dari dalam sakunya dan
menyerahkan kepada ayahnya. Tanpa komentar, Pak Wardana langsung meminta
Binar untuk membuang batangan emas itu ke dalam sumur belakang rumah
dan Binar pun melakukan seperti yang diperintahkan ayahnya.
Sebagai businessman berpengalaman, Pak
Wardana tahu, batangan emas itu bukan hasil kerja keras anaknya, tapi
pemberian istrinya. Hari berikutnya Pak Wardana meminta istrinya ke
Surabaya untuk menjenguk orangtuanya. Sepeninggal istrinya, ia meminta
Binar pergi keluar dan mendapatkan sesuatu senilai seratus ribu rupiah
dengan ancaman tidak boleh makan malam jika ia gagal.
Kali ini Binar pergi menangis dan
mendatangi kakak sepupunya yang bersimpati dan memberinya seratus lembar
ribuan dari tabungannya sendiri. Ketika Pak Wardana bertanya kepada
Binar apa yang telah ia peroleh, anak laki-laki yang sangat ia sayangi
itu tiba-tiba melempar segepok uang kertas yang terdiri dari seratus
lembar uang ribuan. Pak Wardana sedikit terperanjat atas ulah anaknya,
namun langsung memerintahkannya untuk membuang gepok uang itu ke dalam
sumur belakang rumah. Meski dengan bersungut, Binar melakukan hal
sebagaimana diperintahkan ayahnya.
Pak Wardana tahu dari mana asal uang
yang baru saja diserahkan Binar. Keesokan harinya ia mendatangi
kemenakan perempuannya dan mengganti sejumlah uang yang sudah ia
serahkan ke Binar. Setelah itu, ia kembali meminta anaknya untuk pergi
keluar dan mendapatkan apa pun senilai seratus dua puluh lima ribu
rupiah dengan ancaman yang sama: Binar tidak boleh makan malam jika ia
tak membawa pulang apa pun!
Kali ini, karena Binar tidak dapat
mendatangi seorang pun dari orang-orang dekat untuk ia mintai
pertolongan; terpaksa ia pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan. Ia
mendatangi salah seorang pemilik toko yang menjanjikan bahwa ia akan
membayarnya lima puluh ribu rupiah jika ia berhasil mengangkut setengah
isi gudang di tokonya ke gudang di rumah pribadinya yang berjarak
sekitar dua kilometer dari toko. Binar, anak pengusaha mebel kaya itu,
tidak bisa menolak tawaran ini dan harus bermandi keringat pada saat ia
menyelesaikan pekerjaannya. Kakinya gemetaran, leher dan punggungnya
kesakitan. Tampak bilur-bilur dan bekas bercak darah di punggungnya.
Telapak tangannya kasar dan melepuh kapalan.
Ketika ia kembali ke rumah dan
mengeluarkan dua lembar lima puluh ribu di hadapan ayahnya, sang ayah
memintanya untuk membuangnya ke sumur. Binar menangis tersedu dan hampir
berteriak menolak keras permintaan ayahnya. Dia tidak bisa membayangkan
harus melemparkan uang yang ia peroleh dengan seluruh perasaan, darah,
dan keringatnya. Dia mengatakan di tengah tangis sedu tangisnya: “Ayah!
Seluruh tubuhku sakit. Aku pulang dengan bilur dan bercak darah dan Ayah
memintaku untuk melemparkan uang ke dalam sumur?!”
Serta merta Pak Wardana tersenyum. Dia
mengatakan kepada anaknya bahwa orang baru merasakan rasa sakit bahkan
sakit hati bila buah kerja kerasnya dianggap sia-sia. Pada dua
kesempatan sebelumnya Binar dibantu oleh ibunya dan saudara sepupu
perempuannya dan karena itu tidak punya rasa sakit, pun tak merasa
tersinggung ketika harus melempar perolehannya ke dalam sumur.
Mengenali Kendal(i) Diri
Kejadian Binar sebagaimana saya ceritakan sering kita alami, meski belum
tentu kita sadari. Kita sering kehilangan “binar dalam diri” lantaran
kita tak mengenali dan gilirannya gagal mengendalikan kendala dalam diri
kita. Kendala diri adalah faktor intrinsik yang secara mekanistik
mendorong dan menciptakan kegagalan dan gilirannya menjudulkan kegagalan
ini sebagai alasan melindungi rasa inkompetensi kita. Dorongan ini
biasanya berupa, “tindakan membiarkan tak dihasilkannya kinerja yang
lebih baik semata, demi dapat menjaga citra diri yang positif”.
Kendala diri didorong oleh keharusan
melindungi citra diri. Menurut Berglas dan Jones (1978), kegagalan
seseorang mengerjakan tugas penting lebih sering disebabkan oleh kendala
dalam diri daripada ketakmampuan orang tersebut. Kendala diri dapat
melindungi citra diri dalam jangka pendek, meski penelitian menunjukkan
bahwa hal ini justru menyita biaya psikosomatik jangka panjang, seperti
memburuknya kesehatan dan menurunnya tingkat kepuasan tentang kompetensi
diri. Seorang yang mengalami kendala diri berusaha mengubah konsep diri
agar sesuai dengan perilaku sehingga menghasilkan label diri sebagai
diri yang pemalu, depresif, pemabuk, mudah tersinggung, dan sebagainya.
Hasil penelitian Edy Suhardono (2008)
pada data para klien IISA Assessment Centre menunjukkan, tingginya
tingkat kendala diri seseorang berkorelasi dengan rendahnya tingkat
kecerdasan intrapersonal, yakni kecerdasan yang bertanggung jawab
terhadap kapabilitas pembuatan keputusan, daya determinasi diri,
kesadaran/refleksi diri, dan daya intuisi. Adapun kecerdasan
intrapersonal yang rendah berhubungan dengan pengalaman penolakan
(unwantedness) yang dialami janin pada masa perkembangan prenatal (dalam
kandungan).
Apakah Anda punya kecenderungan menunda
penyelesaian suatu tugas yang sudah sekian lama Anda rencanakan, punya
pola emosi yang cenderung moody, sering takut mengambil risiko, dan
sering berada dalam konflik kepentingan? Anda cenderung bersikap kaku
ketika menempuh cara penyelesaian, lemah dalam manajemen waktu, dan
menghindari rincinya informasi? Anda lemah dalam daya determinasi diri,
cenderung takut dipersalahkan, dan gampang meremehkan suatu urusan?
Kenali kendala diri Anda lewat sejarah
prenatal Anda. Dengan mengenali, Anda lebih mudah mengendalikan dan
melakukan terapi untuk diri Anda sendiri.
Sumber: www.nomor1.com