Tomi adalah seorang pegawai kantoran yang sedang bernasib apes.
Kantornya yang hampir bangkrut melakukan rasionalisasi pegawai. Ia ikut
terkena pemutusan hubungan kerja. Padahal, ia merasa di perusahaan itu
sudah sangat nyaman. Apa daya. Ia harus jadi pengangguran lagi. Ia pun
tak tahu harus ke mana mencari pekerjaan. Sebab, ia hanya lulusan SMA.
Yang sarjana saja susah cari pekerjaan, apalagi dirinya yang hanya
sekolah SMA, begitu pikirnya.
Di rumah, ia harus menanggung hidup dua anak dan seorang istri. Meski
istrinya berjualan sayuran untuk membantu menambah penghasilan,
jumlahnya tak cukup. Anaknya sudah sekolah SD. Mereka butuh makan dan
butuh biaya sekolah yang tak sedikit. Tomi pun kebingungan. Sebab,
pesangon yang diberikan perusahaan jumlahnya hanya cukup untuk hidup
tiga bulan.
Karena tak kunjung mendapat pekerjaan pengganti, ia pun hampir putus
asa. Di tengah kebingungannya itu, ia melihat istrinya justru makin
banyak mendapat pelanggan. Masakan yang dibuat istrinya rupanya banyak
yang suka. Di tengah kegelisahan itu, Tomi pun mendapat ide.
“Bu, bagaimana kalau mulai besok kamu jualan gudeg saja?”
“Memangnya kenapa Mas?”
“Kamu dulu pernah masakin aku gudeg enak sekali.”
“Terus?”
“Iya, aku lihat di kampung ini banyak orang Jawanya. Mereka kan biasanya
kangen masakan Jawa. Kita jualan gudeg saja. Siapa tahu masakanmu makin
laris,”harap Tomi.
Dugaan Tomi tak meleset. Gudeg buatan istrinya disukai pedanggan.
Makin lama, gudegnya makin laris. Gudeg Yu Tom, masakan istrinya, makin
dikenal. Pelan tapi pasti, pelanggannya datang dari mana-mana.
***
Kadang, tanpa kita sadari. Kita hidup dalam garis ketidakpastian.
Orang bijak mengatakan hidup ini seperti roda. Kadang di atas, kadang
juga di bawah. Karena itu, jangan heran. Jika suatu saat Anda menjumpai
orang yang dulunya kaya raya, kini menghilang entah ke mana. Pun, jika
suatu saat Anda menjumpai orang yang dua tahun lalu biasa-biasa saja,
kini berubah menjadi orang yang berhasil dalam usaha. Kadang, kita juga
melihat orang yang sangat sukses jadi pengusaha, justru berawal dari
keterdesakan ekonomi, sebagaimana kisah di atas.
Memang, jika kita mau melihat sekitar kita, kejadian seperti itu tak
jarang terjadi. Karena kepepet, karena keterdesakan ekonomi, karena
keterpaksaan, orang justru menemukan hal baru yang “menyelamatkan”
dirinya dari keterpurukan. Kalau istilah saya, “The power of kepepet”
alias kekuatan yang muncul karena keterdesakan kondisi. Bagaimana bisa?
Begini. Kadang, saat akan memulai usaha, ada satu hal yang sering
jadi ketakutan banyak orang, yakni kegagalan. Gagal kadang jadi momok
yang menakutkan semua orang. Kita takut dicap jadi orang gagal. Orang
gagal adalah orang kalah. Hal itulah yang membuat kita selalu mencoba
menghindari kegagalan. Kalau bisa, jangan sampai gagal. Begitu juga yang
muncul di benak banyak orang jika hendak memulai usaha. Siapa sih yang
mau rugi kalau buka usaha? Kita juga akan selalu berusaha menghindari
yang namanya kesusahan. Itu adalah fitrah manusia.
Tapi, yang terjadi sudah pasti tidak akan selalu mulus sebagaimana
dambaan setiap orang. Ini yang harus disadari tiap orang. Coba, kalau
dulu waktu belajar berjalan kita selalu takut jatuh. Barangkali, sampai
sekarang kita tidak bisa berjalan. Atau, waktu masa kecil dulu ketika
belajar naik sepeda. Berapa kali kita harus terjatuh dan luka agar bisa
naik sepeda? Jadi, kita pasti melalui proses belajar dari jatuh, luka,
dan gagal itu.
Kalau dianalogikan dengan jatuhnya seseorang ke dalam jurang, mungkin
ia akan tersangkut beberapa kali, sampai akhirnya benar-benar jatuh ke
dasar jurang. Nah, kalau sudah sampai ke dasar, yang benar-benar
dasarnya jurang, apa pilihan dia? Satu-satunya pilihan adalah naik
bukan? Sebab, tidak mungkin lagi kita akan jatuh ke tempat yang lebih
dalam karena itulah dasarnya jurang. Begitu juga dengan kegagalan. Kalau
gagal terus, suatu saat kita akan sampai ke “jatah” gagal kita yang
terakhir. Kalau sudah begitu, pilihan kita hanya satu, naik alias
bersiap menuju sukses.
Itulah yang terjadi pada Tomi, tokoh ilustrasi cerita tadi. Ia sedang
berada dalam jurang kesusahan. Berbagai kegagalan ia alami saat akan
melamar kerja. Begitu banyak penolakan yang dihadapi saat ia – yang
hanya tamatan SMA – ingin kembali bekerja, guna menghidupi istri dan
anaknya. Namun, setelah benar-benar mengalami kesusahan dan ia dalam
kondisi yang sangat kepepet, laksana sudah berada di dasar jurang, ia
justru “menemukan” jalan naik itu. Kondisi kepepet itu justru memberinya
ide yang selama ini tak pernah terpikir olehnya.
Memang, dalam kondisi sangat terdesak atau kepepet, orang kadang
diberi kekuatan di luar batas yang dimilikinya. Teringat masa ketika
saya mengalami bencana gempa bumi dahsyat di Jogja 27 Mei 2006 lalu.
Dalam kondisi kepepet, saya melihat tetangga saya sempat mengangkat
tembok roboh seorang diri. Jangan kaget pula, jika suatu saat Anda
melihat seorang bisa berlari sangat kencang, bahkan melebihi kecepatan
atlet pelatnas, jika dikejar anjing. Bagaimana bisa? Ya, sebab, dalam
kondisi kepepet, kadang muncul kekuatan yang membuat kita bisa mempunyai
kemampuan di luar batas untuk menyelamatkan diri.
Itulah yang saya istilahkan “The power of kepepet”. Yah, begitu juga
dalam menjalankan usaha. Jika kita terbiasa menghadapi kegagalan, kita
justru akan terbiasa pula melihat peluang lain yang kadang tak kita
lihat saat sedang dalam kondisi normal. Tentu, kita tidak ingin untuk
menemukan ide cemerlang hanya jika dalam kondisi kepepet. Yang harus
kita lakukan adalah bagaimana selalu bisa memunculkan potensi – seperti
saat kepepet – setiap saat, meski tidak dalam kondisi terdesak.
Jika tidak dalam kondisi kepepet, barangkali potensi masakan enak
istri Tomi hanya akan jadi masakan yang dinikmati keluarganya saja.
Namun, dalam kondisi terdesak, ide membuat gudeg ternyata mampu menjadi
jalan keluar bagi kesulitan Tomi dan keluarga. Tentu, itu pun harus
melalui proses.
Akhirnya, saya punya satu kisah nyata sebagai penutup. Kreativitas
yang muncul dari keterdesakan, mampu menjadi jalan keluar masalah. Ini
terjadi di Jogja, tepatnya di Kabupaten Bantul. Di sana, ada satu kedai
bakmi yang sangat terkenal, namanya Bakmi Mbah Mo. Meski lokasinya
terpencil, antrean orang yang akan makan di sana berderet. Mobil-mobil
pelanggan yang parkir, berjejer panjang. Alkisah, larisnya warung bakmi
itu karena promosi sang pemilik yang cukup unik. Karena sadar lokasinya
tak strategis, ia selalu menyambangi warung-warung bakmi yang cukup
ramai sembari berpromosi. Setiap kali bertemu orang, ia selalu cerita
kalau di Bantul juga ada bakmi enak. Dengan promosi seperti ini, pelan
tapi pasti, informasi tentang bakmi Mbah Mo menyebar. Akhirnya, hingga
sekarang, meski terpencil, bakmi Mbah Mo tetap ramai dicari orang.
Itulah bukti, dari keterdesakan karena keterbatasan lokasi, muncul
kreativitas promosi yang jitu. Jadi, seberapa kepepetkah Anda?[awid]
* Agoeng “Mr Bright” Widyatmoko adalah konsultan independen usaha
mikro, kecil, dan menengah. Trainer Sekolah Penulis Pembelajar ini juga
menerbitkan buku laris “100 Peluang Usaha”. Penulis dapat dihubungi
melalui email: agoeng.w@gmail.com atau sms di 0812 895 0818.
Sumber: www.nomor1.com